Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Mengenal Sesepuh / Ulama Wonosobo

Mengenal Sebagian Kecil Ulama Wonosobo

Syekh Umar Sutadrana

Makam Syekh Umar Sutadrana (Kaligintung - Gunturmadu - Watumalang - Wonosobo)
Makam Syekh Umar Sutadrana (Kaligintung - Gunturmadu - Watumalang - Wonosobo)

Menurut Bapak Patah Tjipto Suwiryo, sesepuh setempat, beliau datang dari Arab, keturunan Nabi Muhammad SAW. Datang ke Indonesia tahun 1820 bersama ayahnya Syekh Abdul Rahim. Sebagai pedagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Menginjakkan tanah Jawa pertama kali di Jogjakarta.

Nama aslinya hanya Umar, kemudian membaur dengan orang Jawa ditambahi Sutadrana. Lantas ia bersama ayahnya menjadi prajurit Mataram. Berjuang melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Ketika Belanda berhasil memukul perlawanan Pangerang Diponegoro, prajuritnya kocar-kacir. Syekh Umar dan ayahnya lari ke Wonosobo. Bersembunyi di suatu tempat yang kini disebut Sudagaran. Hingga memiliki 6 anak dari istri yang berasal dari Jogja.

Enam anaknya itu bernama Eyang Jami, Eyang Mangundrana, Noyodrono, Singodrono, Surodipo, dan Abdullah. Singodrono adalah kakek penutur cerita, Bapak Patah Tjipto Suwiryo, sedangkan Abdullah menurunkan anak-anak yang kini berada di Singapura.

Meskipun sudah lama bermukim di Sudagaran, ternyata tentara Belanda masih mencium jejaknya. Akhirnya diputuskan, untuk pindah ke pinggiran kota agar lebih aman. Dusun Kaligintung Desa Guntur Madu menjadi pilihan keluarga besar Syekh Umar untuk menetap. Hingga akhir hayatnya, dia tinggal di desa tersebut. Sementara anak keturunannya tersebar di berbagai negeri sekaligus di Malaysia dan Singapura.

Makam Syekh Umar Sutadrana terletak di Dusun Kaligintung, Desa Guntur Madu, Kecamatan Watumalang, Wonosobo.

Syekh Abdullah Qutbuddin

Makam Syekh Abdullah Qutbuddin (Candirejo - Mojotengah - Wonosobo)
Makam Syekh Abdullah Qutbuddin (Candirejo - Mojotengah - Wonosobo)

Di Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah terdapat sebuah makam kuno. Konon, makam tersebut bersemayam jazad seorang tokoh pembawa alirah Tarekat Naqsbandiyah pertama kali di tanah Jawa. Syekh Abdullah Qutbudin namanya. Dia berasal dari Iran. Menyebarkan Islam dengan membawa bendera tarekat yang kemudian menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan diyakini, Candirejo sendiri merupakan desa Islam pertama di Jawa karena kedatangan Syekh Abdullah Qutbudin ini. Makam ini ditemukan oleh KH. Abdurrahman Wahid (GUS DUR).

Syekh Abdullah Selomanik

Syekh Abdullah Selomanik (Kalilembu – Dieng
Syekh Abdullah Selomanik (Kalilembu – Dieng

Syech Abdullah selomanik merupakan keturunan raja Brawijaya V dari kerajaan Majapahit. Beliau adalah putera Raden Bintoro I yang berjuluk Raden Lembu Peteng [Kyai Tarup]. Masyarakat mengenalnya sebagai penyebar agama Islam di lembah Dieng. Makamnya dipugar pada tahun 2000 dan sejak ditemukan serta diziarahi oleh KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) banyak peziarah yang mengunjungi makam tersebut.

Tumenggung Wiraduta

Makam Tumenggung Wiraduta di Dusun Kalilusi yang masuk wilayah Desa Pecekelan Kecamatan Sapuran memiliki kaitan erat dengan sejarah Kabupaten Wonosobo. Tokoh yang paling berperan adalah Kyai Wiraduta. Bersama 2 wira lainnya yakni Kyai Wirabumi dan Wiradhaha membuka rimba raya yang angker menjadi sebuah perkampungan penduduk.

“Wiraduta merupakan keturuan Prabu Brawijaya 5 Majapahit. Beliau masih berhubungan darah dengan Setjonegoro dan Selomanik. Tumenggung Wiraduta bersama saudara dan kawan-kawannya lari ke wilayah Wonosobo setelah dikejar-kejar pasukan Belanda. Dalam perang gerilya tersebut, Wonosobo dipilih menjadi tempat persembunyian karena berhutan belantara lebat yang sulit terjangkau. Bersama pasukannya, Pangeran Diponegoro sempat melewati Desa Pecekelan. Sedangkan Widuta bersama Wirabumi dan Wiradhaha membuka hutan belantara tersebut menjadi perkampungan. Wilayah tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Tumennggung Wiraduta. Pusat kekuasaan tersebut kemudian dipindah ke Ledok yang sekarang bernama Desa Plobangan Kecamatan Selomerto. Di dalam cungkup yang terbuat dari papan kayu terbaring jazad Tumenggung Wiraduta, istrinya dan sang ibu. Makam masih alami, ditandai dengan batu nisan dengan tanah yang rata. Sedangkan di luar adalah makam Kyai Blendang, Kyai Dalem, dan Kyai Diebeng juga ada Den Bagus Gendor. Komplek makam di dekat SMK Sapuran tidak terlalu jauh dari Jalan Raya Sapuran.

Tumenggung Jogonegoro

Tumenggung Jogonegoro (Pakuncen – Selomerto – Wonosobo)
Makam Tumenggung Jogonegoro (Pakuncen – Selomerto – Wonosobo)

Makam Tumenggung Jogonegoro terletak di desa Pekuncen, Selomerto. Tumenggung Jogonegoro merupakan seorang Bupati Kerajaan Mataram, mula-mula sebagai kepala prajurit ia bernama Ng. Singowedono.

Karena jasanya terhadap kerajaan beliau mendapat gelar Raden Tumenggung Jogonegoro.
Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang perang Diponegoro atau pada era pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II.

Tumenggung Jogonegoro sendiri merupakan cucu dari pendiri Wonosobo yaitu Kyai Karim. Pada waktu perang Diponegoro meletus. Tumenggung Jogonegoro bergerak dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dan melakukan siasat perang gerilya. Dalam perang ini sampailah Tumenggung Jogonegoro dan prajuritnya di daerah Plabongan. Plabongan menjadi ibu kota Kabupaten Wonosobo pada waktu itu dan dikenal sebagai Wonosobo Plabongan. Di tempat inilah Tumenggung Jogonegoro bertahan hingga mangkatnya.

Beliu wafat pada hari Kamis Pon, 6 Februari 1755. Di kompleks makam Pekuncen tidak hanya makam Tumengung Jogonegoro saja yang berada di sana namun juga makam keluarga dan para pembantu setianya seperti Kyai Pulanggeni dan Kyai Sanggageni.

Kyai Nurizal

Kyai Nurizal (Lempong – Kalierang – Selomerto – Wonosobo)
Makam Kyai Nurizal (Lempong – Kalierang – Selomerto – Wonosobo)

Kyai Nurizal atau warga setempat menyebutkan Mbah Nurizal konon merupakan teman seperjuangan Tumenggung Jogonegoro dalam melawan penjajah. Dugaan cukup masuk akal. Antara makam Tumenggung Jogonegoro dan Mbah Nurizal lokasinya tak begitu jauh. Sama-sama berada di wilayah Kecamatan Selomerto.

‘Tumenggung Jogonegoro merupakan tokoh pemerintahan, sedangkan Mbah Nurizal alim ulama. Keduanya bahu-membahu dalam memajukan pemerintahan waktu itu,”papar Muhammad Muslim, tokoh masyarakat sekaligus juru kunci makam.

Mbah Nurizal, diketahui sebagai prajurit Keraton Jogjakarta yang tangguh. Saat berjuang, bersama Tumenggung Jogonegoro yang nama kecilnya Raden Ontokoesoemo dikejar-kejar oleh Belanda. Akhirnya sampai di Dusun Lempong menjadi tokoh penyebar agama Islam pertama kali. Sekaligus pendiri Dusun Lempong. Anak keturunannya juga menjadi ulama yang disegani.

“Mbah Nurizal dijuluki Karto Siluman, karena pintar mengecoh musuhnya. Kalau diburu hilang, lalu muncul lagi di tempat berbeda. Seperti siluman, sehingga musuhnya kuwalahan,”katanya.

Sayangnya tidak ada catatan pasti sekitar tahun berapa, Kyai Nurizal berada di Dusun Lempong. Tidak terdaftar pula silsilah keluarganya. Apakah masih ada keturunan dari bangsawan keraton Jogja atau tidak. Muhammad Muslim pun mengaku tidak mengetahui secara pasti, meskipun ia termasuk keturunannya. Menurut dia, Mbah Nurizal memiliki anak Kyai Ali Muhammad, menurunkan anak Ali Ibrahim. Kemudian berturut-turut Ali Mustar, Ali Rahmat, Muhammad Tarmudzi dan Muhammad Muslim sendiri.

Sebagai pendiri dusun, Kyai Nurizal mempunyai pengaruh ketokohan yang kuat. Tak heran, bila sekarang makamnya kerap diziarahi banyak orang. Mereka berasal dari berbagai kota. Seperti Magelang, Purworejo, Temanggung dan Parakan.

Dan masih banyak lagi Sesepuh-Sesepuh Kota Wonosobo yang lain.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Mengenal Sesepuh / Ulama Wonosobo, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.