Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Pengertian serta Pelurusan dari Pemahaman Al Wala Wal Baro Dari Unsur Radikalisme

Pengertian serta Pelurusan dari Pemahaman Al Wala Wal Baro Dari Unsur Radikalisme
Pengertian serta Pelurusan dari Pemahaman Al Wala Wal Baro Dari Unsur Radikalisme

Ada sebuah istilah BARU yang lagi ngetrend yaitu Al Wala’ wal Baro’ yang mana istilah ini dan juga istilah trilogi tauhid tidak dikenal dizaman sahabat ataupun di zaman salafussholih ataupun dikalangan ulama terdahulu seperti Imam Nawawi , Imam Suyuthi dan para ulama dunia yang lain.

Al-Wala'

Wala’ secara bahasa artinya adalah dekat, menolong , mencintai dan lain-lain. Yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah mencintai dan menolong sesama muslim yang tidak berbuat kesyirikan atau kemaksiatan.

Padahal sangat jelas sekali bahwa Rasulullah tidak mengkhawatirkan ummatnya berbuat syirik, namun muncul golongan yang merasa lebih bertauhid dari Rasulullah dan gemar mensyirikkan umat Rasulullah.

Al-Baro'

Baro’ secara bahasa adalah berlepas diri, dan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah berlepas diri dari orang kafir atau muslim yang berbuat kesyirikan dan kemaksiatan. Yaitu dengan tidak mencintai atau membantu mereka.

Namun istilah ini ternyata bukan sekedar istilah biasa, karena terjadi ajakan pertumpahan darah, permusuhan, pengkafiran, serta tuduhan syirik kepada golongan yang berbeda atas nama al Wala’ wal Baro’. Bukankah kita sudah pernah mendengar ajakan untuk memusuhi dan menghajar golongan yang berbeda pendapat atas nama al Wala’ wal Baro’.

Sebetulnya konsep seperti ini sudah lama dikenal oleh para ulama ahlussunnah wal jamaah dengan nama Alhubbu fillah wal bughdhu fillah (cinta karena Allah dan benci karena Allah), namun dibawakan lagi dengan istilah dan pemahaman yang berbeda oleh golongan tertentu.

Bagaimana seharusnya kita bersikap kepada sesama muslim? Sikap kita kepada sesama muslim adalah saling tolong menolong, mencintai dan memperlakukannya bagaikan saudara.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10).

Juga disebutkan didalam hadits:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan didalam hadits yang lain beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak beriman seorang muslim hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya" (HR Bukhari).

Lalu bagaimana sikap kita dengan muslim yang lain, seperti pelaku maksiat atau ahli bid’ah. Sikap kita terbaik kepada mereka adalah berlepas dari perbuatannya bukan dari pelakunya. Karena sejatinya siapapun yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dia adalah saudara kita dalam keimanan, sekalipun dia pelaku maksiat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ ٢١٤ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢١٥ فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ ٢١٦
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku BERLEPAS DIRI DARI APA YANG KAMU KERJAKAN” (QS. Asy-Syu’ara’: 214-216)

Didalam Al Quran dinyatakan berlepas diri dari perbuatan mereka, bukan berlepas diri dari pribadi mereka.

Begitu pula diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwasanya suatu ketika Khalid bin Walid RA berbuat sebuah kesalahan, dan Rasulullah mendengarnya lalu berkata “Ya Allah sesungguhnya aku berlepas diri dari PERBUATAN Khalid.” Beliau tidak berkata berlepas diri dari Khalid , akan tetapi beliau mengatakan berlepas diri dari perbuatan Khalid.

Benarkah kita berlepas diri dari non muslim dengan memusuhi mereka?
Sangat banyak sekali ayat qur’an, hadits, bahkan suri tauladan dari sahabat dan generasi salaf yang mengajarkan kita untuk bersikap baik kepada non muslim. Kiranya akan terlalu panjang apabila diuraikan semuanya dalam tulisan ini maka cukuplah salah satu firman Allah dalam suratnya memberikan penjelasan kepada kita.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (yang dimaksud adalah orang kafir) yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al-Mumtahanah : 8)

Kesimpulannya adalah kita harus mencintai dan mengasihi setiap kaum muslimin, bahkan pelaku maksiat pun tetap kita perlakukan sebagai saudara dan hanya perbuatan maksiatnya yang boleh kita benci. Dewasalah dalam menyikapi perbedaan diantara mereka, jauhilah sikap saling memvonis karena itu justru akan menjadikan terpecah belahnya persatuan kaum muslimin.

Sikap kita kepada non muslim adalah menghargai dan tetap berhubungan baik dalam urusan keduniaan dan kita pun haram mengganggu peribadatan mereka.

Dakwah tauhid dan sunnah membawa kedamaian bukan membawa perpecahan apalagi sampai mengkafirkan.

Semoga Allah selalu menyayangi kita semua.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Pengertian serta Pelurusan dari Pemahaman Al Wala Wal Baro Dari Unsur Radikalisme, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.