Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Kyai Kolodete - Filosofi Rambut Gimbal Dieng

Kisah Kyai Kolodete dan Rambut Gimbal di Kalangan Masyarakat Dieng
Petilasan Kyai Kolodente
Petilasan Kyai Kolodete Batu Ratapan Angin Dieng

Keindahan panorama dan nilai-nilai magis spiritual. Paduan dua hal itulah yang membuat Dataran Tinggi Dieng memikat wisatawan. Bagi yang ingin menikmati eloknya indahnya pemandangan, ada Telaga Warna, Telaga Pengilon, kelompok candi Hindu, Kawah Sikidang dan banyak obyek lainnya. Sedangkan bagi yang ingin berwisata spiritual, Dieng gudangnya. Salah satunya adalah pekaringan Kolodete yang terletak di Gunung Kendil.

Berbicara Wonosobo tak lepas dari 3 tokoh yang diyakini sebagai pendirinya. Kyai Walik, Kyai Karim dan Kyai Kolodete. Wonosobo pada abad 17, masih hamparan hutan. Tiga tokoh tersebut bersama keluarganya berkelana sampai di belantara Wonosobo. Lantas, hutan lebat ditebang dijadikan perkampungan penduduk, lahan pertanian, dan ladang sebagai sumber penghidupan.

Kyai Walik dianggap sebagai tokoh perancang kota, Kyai Karim peletak dasar-dasar pemerintahan. Ketiga tokoh itu menjalin kerjasama yang erat, saling mendukung dan melengkapi demi memajukan perkampungan Wonosobo.

Di kalangan penduduk Wonosobo bagian utara terutama di Kecamatan Garung, Kejajar hingga Dataran Tinggi Dieng, Kyai Kolodete diyakini sebagai penguasa atau disebut merkayangan.

Di Gunung Kendil inilah terdapat pekaringan Kyai Kolodete dan istrinya. Pekaringan dari kata “karing” atau tempat berjemur. Dieng terletak di ketinggian 2093 meter di atas permukaan laut. Udara dingin memunculkan kebiasaan masyarakat berjemur pagi hari di bawah matahari. Pekaringan Kolodete diduga menjadi tempat untuk berjemur kyai yang konon memiliki rambut gembel itu.

Bahkan menurut cerita, di tempat itu pula Kyai Kolodete moksa atau sirna tak diketahui rimbanya. Namun di tempat tersebut tidak terdapat makam. Hanya bangunan beratap dengan tembok separuh. Pekaringan Kolodete ramai dikunjungi wisatawan. Baik dari dalam maupun luar kota. Mulai dari rakyat jelata hingga pejabat. Konon, berdoa atau ngalap berkah di tempat tinggi itu, banyak terkabulnya.

“Pekaringan Kolodete itu ditemukan melalui proses meditasi oleh para penghayat kepercayaan. Prosesnya cukup lama. Berkali-kali meditasi, akhirnya para penghayat kepercayaan mendapat petunjuk. Di Gunung Kendil inilah salah satu tempat pekaringan Kyai Kolodete,”papar Bambang Sutejo, S.Kar.

Di mana letak pekaringan ini? Masih seputar kawasan Dataran Tinggi Dieng. Tak begitu jauh dengan Telaga Warna maupun Dieng Plateu Theater. Jalan masuknya searah dengan Dieng Plateu Theater. Pekaringan Kolodete dan istrinya Nini Dewi Laras berdekatan. Namun pengunjung harus jalan kaki sekitar 30-45 menit dari bawah. Diceritakan juru kunci Pekaringan Kolodete, di tempat tersebut dibangun cungkup atau rumah-rumahan. Persis di atas bukit Kendil.

“Tahun 1999, orang dari Indramayu datang memberitahu agar membangun gubug atau rumah kecil di atas pekaringan Kolodete. Sementara saya belum tahu di mana lokasinya. Setahun kemudian saya melakukan meditasi di atas Gunung Kendil selama sehari. Dari situ saya mendapatkan petunjuk, pekaringannya di atas gunung itu,”kata Rusmanto menceritakan awal mulanya dibangun cungkup di atas Gunung Kendil.

Pada tahun 2001, Rusmanto membangun rumah kecil di pekaringan itu. Diakui dia, pembangunan rumah itu atas iuran para penghayat kepercayaan termasuk Rusmanto sendiri. Di tempat tersebut disediakan 2 tempayan besar berisi air dari Tuk Bimo Lukar dan Gua Sumur.

Perjalanan dari Dieng Plateu Theater sampai ke atas bukit Kendil memakan waktu sekitar 30-45 menit cukup menguras tenaga. Sebab, jalanan menanjak. Namun jangan khawatir begitu sampai di atas bukit, lalu cuci muka dengan air Gua Sumur dan Tuk Bimo Lukar, seketika itu juga, kelelahan sirna. Kesegaran baru datang. Ini bukan sekedar mitos atau omong kosong.

“Saya merasakan sendiri. Naik bukit tentu saja badan capek. Begitu membasuh muka dan cuci tangan, rasanya segar. Penat hilang. Yang ada hanya perasaan pasrah sumarah. Melihat pemandangan sekeliling yang sangat indah,”tambah Bambang Sutejo.

Kisah Kyai Kolodete dan Rambut Gimbal di Kalangan Masyarakat Dieng
Gunung Kendil: Tampak Pekaringan Kyai Kolodente diatas bukit

Pekaringan Kolodete ini menjadi salah satu tempat yang menarik perhatian pengunjung. Mereka tidak hanya dari Wonosobo. Tidak sedikit yang datang Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Semarang dan kota-kota besar lainnya. Bahkan Gubernur Bali sudah beberapa kali mengunjungi pekaringan Kolodete ini.

Apa yang menarik dari tempat tersebut? Konon, berdoa di tempat tersebut, cepat terkabul. Banyak yang sudah membuktikannya. Bambang mengakui dalam satu kesempatan dia bersama rombongan berkunjung ke pekaringan di Gunung Kendil.

Di tempat tersebut, masing-masing berdoa sesuai keinginannya. Ada dua orang yang belum menikah. Lantas berdoa khusuk di tempat tersebut.

“Tentu saja berdoa kepada Tuhan yang memberi hidup. Beberapa bulan kemudian, dua orang perempuan lajang ini dilamar orang. Saya rasa ini suatu keajaiban. Meski demikian, kita yang memiliki keinginan harus ada usaha. Jadi ada doa dan ikhtiar sehingga keinginan bisa terwujud,”papar pria yang juga seorang dalang itu mantap.

Keistimewaan lain adalah pemandangan yang luar biasa indah. Dari atas Gunung Kendil pemandangan kota-kota di Jawa Tengah yang jaraknya ratusan kilometer terlihat indah. Apalagi pada malam hari, lampu kerlip-kerlip terhampar laksana emas berlian yang bersinar terang.

Dari atas ketinggian itu, muncul pengalaman spiritual yang luar biasa. Perasaan sebagai makhluk Tuhan yang tidak memiliki kuasa apapun dibandingkan Sang Pencipta, menumpuk di dada. Tak heran, bila pekaringan Kolodete ini menjadi tempat favorit untuk mendekatkan diri pada pencipta. Wajar pula, bila para tokoh dan pejabat tidak menyia-nyiakan kesempatan berkunjung ke tempat tersebut.

Pengunjung biasanya diantarkan oleh Rusmanto. Sang juru kunci inilah yang membuka doa, memintakan izin pada Kyai Kolodete tentang maksud kedatangan tamunya. Mengunjungi pekaringan Kolodete ini harus suci baik jiwa maupun raga.

Dituturkan Rusmanto, para pengunjung tidak boleh sombong maupun takabur. Harus selalu rendah hati. Kadangkala, pada saat itu juga ditunjukkan kelemahannya sebagai manusia. Badan yang besar, belum tentu kuat memanjat sampai di atas bukit Kendil.

Budaya Jawa yang adiluhung menarik minat kalangan akademisi.Sejumlah peneliti dari Universitas Leiden Belanda dan Universitas Gajahmada bertandang ke pekaringan Kyai Kolodete.

“Mereka melakukan penelitian tentang budaya Jawa. Saya mengantarkan ke pekaringan,”tandasnya kepada Radar Semarang.

Rambut Gembel Titipan

Kyai Kolodete : Filosofi Rambut Gembel Dieng

Masyarakat seputar Dieng, sangat menghormati leluhurnya. Ritual-ritual tertentu kerap diadakan. Rusmanto, mengaku setiap malam Senin dan Kamis Wage mengadakan kegiatan ritual di pegunungan Dieng untuk menghormati leluhur atau nenek moyangnya. Termasuk Kyai Kolodete. Berbagai ritual itu tujuannya hanya satu untuk meminta berkah, rahmat dan keselamatan bagi masyarakat.

Kyai Kolodete dipercaya sebagai leluhur sekaligus penguasa Dataran Tinggi Dieng. Semasa kecilnya, Kolodete berambut gembel. Dialah yang mewariskan rambut gembel pada anak-anak di seputar Dieng. Menurut mitosnya, lantaran rambut gembelnya begitu mengganggu, sebelum meninggal Kyai Kolodete berpesan agar anak cucunya membantu dalam menghadapi gangguan rambut itu. Sehingga diwariskan rambut gembelnya pada anak-anak.

Ritual rambut gembel ini salah satu daya tarik wisata Wonosobo. Tidak sembarangan asal mencukur. Tetapi harus menyediakan permintaan dari anak berambut gembel. Bila permintaan tak dipenuhi, meski rambutnya sudah dicukur, akan tumbuh gembel lagi.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Kyai Kolodete - Filosofi Rambut Gimbal Dieng, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.