Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Tulisan Cerita, Kisah, Sejarah Mbah Fanani (Syeh Fanani), Masih Ada Sampai Sekarang

Tulisan Cerita, Kisah, Sejarah Mbah Fanani (Syeh Fanani), Masih Ada Sampai Sekarang
Tulisan Cerita, Kisah, Sejarah Mbah Fanani (Syeh Fanani), Masih Ada Sampai Sekarang

Bagi Masyarakat Dieng khususnya pasti sudah tidak asing lagi mendengan kata Mbah Fanani.

Ada 5 Kesaksian tentang Cerita Mbah Fanani (baca selanjutnya....)

Berikut ini adalah 4 Tulisan kesaksian tentang Mbah Fanani (Syeh Fanani):

Bertapa 26 Tahun di Dataran Tinggi Dieng

Jalan berliku dan curam ditambah dengan dinginnya udara tidak menyurutkan laju kuda besiku untuk mencapai dataran tinggi Dieng yang konon merupakan salah satu dataran tinggi terluas di Indonesia dengan ketinggian 2093 M DPL. Dengan suhu bisa mencapai 0oC pada pagi hari (musim kemarau) di bulan Juli dan Agustus.

Semua berawal dari informasi yang aku dapat dari dunia maya, juga beberapa kawan mengatakan hal yang senada, hingga akhirnya ingin membuktikan sendiri keberadaan sosok misterius yang menjadi perbincangan banyak orang tersebut.

Mbah Fanani demikian orang-orang menyebutnya, keberadaan Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng cukup menarik untuk ditelisik. Siapa sebetulnya beliau? Dan apa maksud serta tujuan Mbah Fanani bertapa? atau lebih tepatnya menurutku menyendiri selama 26 tahun lamanya di tepi jalan di dataran tinggi dieng di Rt 1/Rw 1 Desa Dieng Kulon depan Musala Al-Amin jalan menuju komplek candi Dieng, dari musala kurang lebih berjarak 25 meter. Dengan hanya menempati bilik kecil berukuran ±1,5x1 meter beratapkan terpal berwarna biru. Disaat orang kebanyakan berlomba-lomba mengejar gemerlapnya isi dunia justru sebaliknya sosok Mbah Fanani menepi seorang diri menjauh dari itu semua cukup di bilik kecil dengan hanya berkain sarung saja.

H. Zainudin adalah orang pertama yang coba kutanya, tak banyak yang aku dapatkan informasi dari lelaki sepuh ini. Beliau terkesan tertutup dan nampak hati-hati sekali dalam berkata. Meski demikian beliau memberikan penjelasan sebelum Mbah Fanani menempati bilik itu sambil tangannya menunjuk ke arah yang dimaksudkan dari dalam mushala.

Dahulu Mbah Fanani sebelum di Desa Dieng Kulon ini, bertapa di Desa Sitieng menempati sebuah goa kecil di tepi jalan hingga beberapa tahun lamanya, kemudian tanpa diketahui sebabnya beliau berpindah ke Desa Wadas Putih yang masih satu arah jalan menuju komplek Candi Dieng, lantas berpindah lagi di Desa Tapak Banteng dan di Desa Dieng Kulon ini paling lama, yaitu kurang lebih 17 tahun lamanya kata beliau.

Lain halnya dengan penuturan Pak Mujiono lelaki tengah baya yang memiliki usaha toko persis diseberang jalan Musala Al-Amin. Beliau mengatakan terkadang banyak orang-orang dari luar kota berdatangan antara lain dari Batang, Pekalongan, Purwokerto, Jepara serta kota lainya hingga dari luar Jawa mengunjungi tempat pertapaan Mbah Fanani katanya.

Masih menurut penuturan Pak Mujiono, bahkan sering terlihat mereka yang datang ternyata diketahui para santri dari luar kota kemudian membersihkan tempat sekitar pertapaan Mbah Fanani.

Rumah Pak Mujiono bisa terbilang sangat dekat dengan pertapaan Mbah Fanani, namun selama belasan tahun lamanya beliau menuturkan tidak pernah sekalipun melihat Mbah Fanani keluar dari bilik kecil tersebut. Ketika aku tanyakan maksud dan tujuan Mbah Fanani laku tapa, beliau menjawab tidak tahu. Beliau justru menyuruhku bertanya ke sebuah rumah yang persis berada di belakang tempat Mbah Fanani bertapa.

Rasa penasaran membuatku mendatangi rumah yang persis di belakang bilik Mbah Fanani. Saat melewati depan bilik yang tertutup rapat itu sempat aku lirik ada piring dalam keadaan kosong tergeletak di bibir bilik, selebihnya hanya gelap yang terlihat meski sore itu cukup cerah cuacanya.

Di teras ternyata terlihat berkumpul ibu-ibu yang sedang mengobrol, mereka sepertinya bersikap biasa saja dan tidak ada sesuatu yang aneh meski jarak antara tempat mereka duduk-duduk ke bilik Mbah Fanani tak lebih dari 5 meter jaraknya. Akhirnya satu diantara mereka aku ketahui bernama Ibu Sugiono pemilik rumah. Tak banyak pula yang aku dapat keterangan dari Ibu Sugiono baik maksud dan tujuan Mbah Fanani memilih bertapa di depan rumahnya tersebut.

Yang pasti selain para pengunjung luar kota juga yang kebetulan melintas kemudian memberikan makan dan air mineral di bilik, dalam kesehariannya Pak Sugiono dan keluarga yang menyediakan makanan. Tapi anehnya meski mereka yang paling dekat secara fisik dengan Mbah Fanani juga belum pernah melihat sosok Mbah Fanani keluar dari bilik selama ini.

Padahal dari penuturan Ibu Sugiono keluarganya juga menyediakan/membuatkan khusus kamar kecil tapi hingga saat ini belum pernah digunakan sama sekali. Kesan hati-hati dalam memberikan informasi begitu terasa dari orang-orang sekitar Mbah Fanani bertapa, akhirnya aku putuskan mencari informasi yang cukup jauh jaraknya namun masih diseputar Dataran Tinggi Dieng.

Dari kabar yang berhembus luas dari penduduk setempat, sosok lelaki misterius yang disebut Mbah Fanani ini memiliki pandangan khusus mengenai dataran tinggi Dieng. Sebagaimana tertera dalam ramalan Jayabaya disebutkan wilayah Kedulangmas (Wil. Kedu, Magelang Banyumas) nantinya akan ditutupi banjir bandang yang besar. Oleh karena itu Mbah Fanani memiliki kayakinan dia tidak akan pulang ke tanah kelahirannya sebelum hal tersebut terjadi di daerah yang dimaksudkan.

Di sini penulis jadi ingat sepanjang jalan dari arah Wonosobo baik bukit maupun gunung seputar dataran tinggi Dieng hampir tidak menemukan hutan atau pohon besar kecuali tanah gunung dan perbukitan yang sudah berubah fungsi menjadi lahan tanaman kentang dan sebagainya. Beralih fungsi bagaimana jika alam menagih janji?

Masih menurut cerita seputar Mbah Fanani dari penduduk setempat. Pernah suatu hari keluarga Mbah Fanani, yang konon dari Kuningan Jawa Barat, datang bermaksud menjemput dan kemudian mengangkat tubuh Mbah Fanani dari dalam bilik ke dalam mobil. Namun anehnya ketika mobil hendak distarter tidak bisa hidup. Atau dengan kata lain Mbah Fanani mengisyaratkan tidak ingin pulang terlebih dahulu.

Ada lagi cerita yang berhembus suatu hari pernah di kawasan jalan Desa Dieng Kulon dan Wetan yang masuk wilayah Wonosobo terendam banjir bandang. Namun anehnya air yang mengalir seperti menjauh dari tempat pertapaan Mbah Fanani. Di luar nalar memang, namun demikianlah cerita dari penduduk setempat yang dekat dengan tempat pertapaan Mbah Fanani. Dan masih banyak lagi cerita-cerita mistis seputar sosok misterius Mbah Fanani yang berkembang di masyarakat.

Yang pasti hanya Tuhan dan Mbah Fanani sendiri yang mengetahui maksud dan tujuan yang tersirat dari beliau melakukan tapa di dataran tinggi Dieng. Wallahu A'lam.

Mbah Fanani Petapa Dataran Tinggi Dieng

Mbah Fanani merupakan nama julukan yang diberikan kepada masyarakat dataran tinggi Dieng untuk seorang tokoh petapa yang telah lama melakukan petapaan di daerah dataran tinggi Dieng. Dengan wajah putih dan sorot mata yang tajam kehadiran penulis disambut langsung oleh Mbah Fanani di rumah tendanya yang terbuat dari plastik terpal. Walau terlihat ruangan yang begitu sempit dan pengap, namun terpancar sebuah aura positif bening dengan sorot mata yang tajam dari wajah Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.

Suara gemuruh kendaraan bermotor yang lalu lalang di depan tenda Mbah Fanani, dan cuaca cerah disertai udara dingin hingga menembus pori-pori tubuh hingga ke tulang, menghantarkan penulis memasuki ruang tenda dari sebuah pinta kecil yang tertutup rapat. Walau hanya waktu sebentar tidak lebih dari 2 menit pertemuan penulis dengan Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.

Sosok lelaki dengan berambut gimbal yang terurai panjang tebal hingga ke lantai, hanya menggunakan sehelai kain sarung berwarna coklat yang menutupi tubuh, duduk di antara tumpukan kardus itu menerima permintaan penulis untuk bersedia diambil gambar photonya. Hal ini membuat hati penulispun menjadi senang diterima oleh Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.

Sebuah lakon ataupun laku tapa yang dilakukan oleh Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng merupakan salah satu budaya tradisi yang masih dijalankan oleh beberapa orang di belahan dunia ini. Hal ini sebagai jalan dari kepercayaan dan keyakinan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka. Sudah barang tentu mereka yang melakukan tapa memiliki tata cara tersendiri dan niatan yang hanya diketahui oleh dirinya sesuai dengan apa yang telah mereka percayai dan yakini.

Kisah cerita tentang tokoh Petapa Dataran Tinggi Dieng Mbah Fanani banyak kita temukan dalam sebuah tulisan di website blog yang beredar di dalam dunia internet, bahkan ada yang telah terangkat dalam media massa yang beredar di Ibukota. Cerita-cerita tersebut banyak memiliki versi yang berbeda dengan berlatar belakang narasumber yang berbeda-beda, hingga berkembang cerita di tengah-tengah masyarakat dengan versi yang berbeda tentang Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.

Kehadiran penulis di lokasi tempat petapaan Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng hanya bersifat kemanusiaan dan bersilaturahmi dengan memberikan sedikit makanan dan minuman kepada beliau yang sedang melakukan tapa di daerah dataran tinggi Dieng, pada saat penulis melakukan perjalanan wisata di daerah ini.

Menurut cerita dari kerabat penulis yang tinggal di dataran tinggi Dieng, Mbah Fanani telah melakukan petapaan di tiga wilayah Dieng. Beliau berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat. Hal ini diperkuat dengan cerita masyarakat setempat yang mengatakan bahwa keluarga Mbah Fanani yang berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat pernah datang ke lokasi petapaan beliau untuk menjemput beliau pulang ke rumah. Namun, pada saat akan berangkat kendaraan yang ditumpangi Mbah Fanani tidak dapat jalan.

Itulah sekelumit cerita garis besar yang dapat penulis ceritakan dalam artikel ini tentang sosok Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng. Dan dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada tokoh Sang Petapa Dataran Dieng Mbah Fanani dan keluarga besarnya, maka penulis tidak akan mengangkat cerita tentang beliau. Biarlah cerita dan maksud tujuan dari tokoh Mbah Fanani sendirilah yang pada saatnya akan bercerita kepada anak cucuk dan keluarga serta kerabatnya, agar tidak terjadi kesimpangsiuran di tengah-tengah masayrakat. Terlebih cerita yang diangkat akan mengganggu dan merugikan kalangan keluarga.

Semoga gambar photo yang penulis dapatkan dan diijinkan oleh Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng ini dapat mengobati rasa rindu dan kangen keluarga besar kepada beliau. Bagi rekan-rekan yang akan mengetahui kawasan wisata Dieng Plateau, anda dapat mengunjungi halaman informasi tempat wisata Dienga Plateau dan halaman informasi harga tiket masuk Dieng Plateau.

Petapa Lembah Dieng

Gus Nanang, putra Kyai Abdul Ghofir Bumen Wonosobo, menyebut Mbah Fanani masih keluarga dari istrinya Sayyid Hasan Al Ba'bud (Wan Hasan Bulus Purworejo). Istrinya Wan Hasan masih dari garis keturusan Syarifah. Artinya Mbah Kyai Fanani merupakan seorang sayyid dan atau habib. Dulu pernah dibujuk untuk kembali ke Cirebon oleh istri dan keluarganya. Namun Mbah Kyai Fanani menolak tanpa alasan.

Kemudian merebak sebuah mitos di masyarakat Wonosobo terkait alasan penolakan tersebut. Pertama, dikarenakan tempat paling tinggi dan strategis di Jawa Tengah adalah Wonosobo sehingga untuk melakukan 'uzlah dan riyadhah menjadi lebih khikmat tanpa adanya gangguan. Kedua, Mbah Kyai Fanani hanya akan pulang (atau turun) apabila Wonosobo sudah menjadi lautan.

Dulu Mbah Kyai Fanani mampu berinteraksi lisan dengan para pengunjung yang sowan dengannya. Namun sekarang tidak mau mengeluarkan sepatah katapun, bahkan untuk menganggukkan kepalanya saja jarang. Menurut penuturan juru kuncinya, "ketika hendak berinteraksi dengan Mbah Kyai tidak usah bersuara, cukup dengan menyebutkan di dalam hati saja. Mbah Kyai sudah mengetahui maksud dan tujuannya. Dan niat yang disebutkan dalam hati diusahakan yang baik-baik saja."

Mbah Kyai Fanani sendiri datang ke Wonosobo pada tahun 70-80an. Beliau pertamakali tiba di Wonosobo langsung menuju sebuah desa yang tepat di lereng gunung. Desa Tieng, menjadi tempat beliau sampai akhir tahun 2011. Tempat tinggal beliau di sebuah Goa, tepat di ujung desa Tieng.

Desa Tieng dilanda bencana tanah longsor yang dahsyat, sebagian warganya bahkan menjadi korban. Kabar berita duka tersebut sebenarnya sudah diberitahu oleh Mbah Fanani sehari sebelum kejadian. Mbah Kyai berbicara kepada salah satu masyarakat Tieng: "Besok sore akan terjadi bencana longsor di sekitar sini." Namun orang tersebut menghiraukan imbauan itu, bahkan Mbah Fanani sampai diusir dari tempat tersebut. Alasannya karena beliau dianggap mengada-ada.

Akhirnya Mbah Fanani pindah ke dataran yang lebih tinggi, yaitu desa Dieng. Tempat yang pada abad ke 7-9 menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram Kuno. Dieng disebut sebagai Pingkalingganing Buwana (Poros Dunia), tempat dimana para kaum Brahmin dari India datang untuk bersemedi, bersatu dengan alam, sampai tempat untuk Moksa (kelepasan duniawi). Mbah Kyai Fanani, sebagai simbol orang suci yang mempunyai ketajaman hati dan pikiran. Manunggal dengan alam semesta, mengabdi pada yang kuasa, dengan meninggalkan berbagai macam kehidupan dunia yang menipu. Waallhu a'lam.

Misteri Mbah Fanani Yang Bertapa 25 Tahun di Daerah Dieng

Rambut lelaki dengan wajah putih bersih itu gimbal. Bagian depan rambut menutupi wajahnya yang tampan. Sorot matanya bening memandang penuh tenang. Hidung lelaki berkumis tebal itu memang mancung. Ia hanya berselimut sarung duduk di antara dua drum. Itu sebagai penyangga kayu penahan layar rangkap dua dengan pintu dari plastik tempat ia bertapa.

Di bagian belakang gubug kecil itu dipasang triplek. Setiap kali layar atap itu mulai menua dan lusuh maka akan diganti oleh pak Sugiyono yang kebetulan rumahnya persis di depan tempat Mbah Fanani bertapa. Ketika kami mencoba membuka pintu plastik tempatnya bertapa dan menyapanya dengan salam ia diam seribu bahasa.

“Assalamualaikum Mbah,” kata kami kepadanya. Ia hanya diam saja. Mata memandang ke bawah dan hanya melumatkan bibirnya.

Dalam suasana penuh tanda tanya itu angin dingin yang berhembus bersahut kencang dengan raungan bunyi mesin-mesin di pinggir jalan tak kuhiraukan. Tampak di bawah pintu itu dua gelas bekas minuman air putih dan teh serta dua mangkok bekas bakso dan mie. Di dalam ruangan tersebut terlihat pengap. Namun kondisi tersebut tak dihiraukan oleh Mbah Fanani. Meski tampak lusuh, ada aura positif yang terpancar dari badannya. Ia hanya melumatkan kedua bibirnya yang tampak merah.

Menurut Pak Ono, Mbah Fanani bertapa di tepi jalan kawasan RT 1 RW 1 depan musala Al-Amin itu sudah 20 tahun. Setiap pagi ia mengaku memberinya makan mie goreng dan malam harinya kadang ada yang memberi nasi goreng lengkap dengan minuman teh hangat dan air putih. “Barusan saya mengganti layar atap tempatnya bertapa. Ia tidak mau diberi pakaian bagus dan sandal jepit. Tiap bulan sekali keluarganya dari Kuningan Jawa Barat selalu menengok perkembangan dia,” katanya.

Lain halnya dengan penuturan Susliono. Lelaki berusia 35 tahun yang berjualan bakso dekat tempat Mbah Fanani bertapa tersebut mengaku tiap siang selalu memberikan bakso. Ia menyadari tak tahu kapan Mbah Fanani keluar dari tempat tersebut untuk sekedar buang air besar dan air kencing. Itu terjadi bagi semua warga Wonosobo yang dulu pernah memenangi saat dia bertapa di Desa Tieng Kecamatan Kejajar. “Ia tapa bisu. Saya hanya ingin berbagi dengan sesama dan Alhamdulillah rejeki lancar,” kata warga Garung Wonosobo yang bolak-balik tiap hari untuk berjualan bakso tersebut.

Meski terjadi hujan deras dan panas, Mbah Fanani tak pernah beranjak dari tempat duduknya. Ia tetap diam di dalam bangunan kecil di pinggir jalan tersebut. Keadaaan lelaki yang tak pernah diketahui pernah mandi di Desa tersebut tak pernah membuat masyarakat merasa terganggu. Sebaliknya masyarakat sepertinya sudah terbiasa dengan sikap aneh yang muncul dari dalam diri Mbah Fanani. “Jika sewaktu-waktu keluar diberi bakso, tangannya juga mau menerima meski dia bergerak dari tempat satu dengan yang lain dengan merangkak. Alhamdulillah bakso saya selalu habis,” ujar si penjual bakso.

Susliono mengaku pernah diajak berbicara dengan Mbah Fanani dalam bahasa Indonesia. Suatu malam Mbah Fanani mengaku pernah diusir oleh seorang putri agar pergi dari tempat tersebut. "Akibatnya ia merangkak cepat sekitar 500 meter sampai pos polisi di Desa Dieng Kulon ini,” paparnya.

Kejadian lain, banyak orang dari Kudus, Banjarnegara yang berbondong-bondong ke tempat pertapaan Mbah Fanani. Mereka membawa beberapa botol air mineral. Botol air itu diletakkan di tempat Mbah Fanani bertapa. Setelah seperempat jam dengan doa penuh keyakinan mereka lalu meninggalkan tempat Mbah Fanani,” paparnya.

Ketika keluarganya dari Kuningan bertandang ke tempat ia bertapa, Mbah Fanani tetap tak mau diajak berbicara. Kendati ditawari untuk berganti pakaian ia tetap menolak mengenekannya. "Mbah Fanani sepertinya lebih nyaman hidup tanpa mengenakan pakaian bagus. Ia bilang bahwa laku yang ia perbuat itu karena dulu kakekknya pernah bertapa selama tiga tahun di kawah Sikidang dan Sumur Jolotundo objek wisata Dieng wilayah Kabupaten Wonosobo,” tandasnya.

Dari informasi yang dihimpun dan berhembus luas di tengah masyarakat Wonosobo, lelaki misterius yang diduga memiliki nilai mistis ini memiliki pandangan tersendiri dengan dataran tinggi Wonosobo. Sebagaimana tertera dalam ramalam Jayabaya wilayah Kedulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas) nantinya akan ditutupi dengan banjir bandang. Karena itu mbah Fanani memiliki pandangan bahwa dia tidak akan kembali ke tanah kelahirannya sebelum kejadian tersebut terjadi di wilayah Wonosobo. “Mbah Fanani berkata dia akan kembali ke rumahnya di Kunginan Jawa Barat dengan naik perahu,” kata Budiyanto warga Wonosobo.

Atas dasar pemahaman itulah lelaki yang disebut-sebut sebagai manusia aneh dan langka di zaman modern saat ini terus duduk diam di dataran tinggi Dieng. Meski sebagian besar masyarakat di lokasi tersebut mengenakan kaos kaki dan kaos tangan serta baju serta celana panjang namun Mbah Fanani memilih telanjang dada. Hanya kain sarung saja yang menempel di bagian tubuhnya. Ia merasa damai dengan kondisi tersebut lantaran memiliki pandangan lain pada umumnya yang terjadi atas berbagai konstruksi agama, budaya dan keyakinan yang terjadi di tengah masyarakat umum. (Yudi).

Penasaran? Silahkan berkunjung sendiri dengan harapan bisa ditemui oleh Beliau.

Berikut Komentar dari Facebook

Abdullah

Abdullah Subhanalloh, hati2 ya dg mbah fanani beliau cucu dr mbah yai sholeh bendakerep cirebon seangkatan mbah yai sholeh darat smg. Insy. Hbb Lutfi faham semua krn hbb. Lutfi prnah mesantren di bendakerep crb di mana mbah fanani dlm keluarganya, mninal jgn suudzon dg mba fanani beliau dr keturunan org sholeh bahkan punya silsilah dr Rosululloh saw. Tp pilihan beliau biar yg tahu hanya Alloh dan beliau. Suatu saat semoga saya bisa sowan ke mbah fanani.

Adjie S Mukhsin

Adjie S Mukhsin teringat sahabat baik, almarhum bpk saya, sekitar th 70-an, namanya sy menyebut mbah Abu Nangin (Na'in), beliau dari Wonosobo, sering menemui almarhum bpk sy di Krapyak Yogya dan sering mengajak bpk sy bepergian., ke Watucongol (Muntilan) atau ke wonosobo. Namun mungkinkah, mbah Fanani ini, mbah Abu Na'in, sahabat almarhum bapakku?, yg sering datang dalam mimpi mimpi ku ?

Rohmad Spd

Rohmad Spd Mbah Fanani yang Berasal dari desa Bendan Kulon, ketika dikunjungi saudara saya dari Cirebon, dan menyebutkan nama ayahnya yang merupakan teman sepermainan, sempat menyibakkan rambut panjangnya ke sebelah kanan, dengan wajah berbinar. Subkhanallah.

Raya Anjali

Raya Anjali Maaf...hanya membenarkan Alamat yg tertera diatas tersebut, DIENG RT 01 RW 01 itu masuk Kabupaten BANJARNEGARA, dan SUMUR JALATUNDA pun masuk Kabupaten BANJARNEGARA, bukan masuk wilayah Kabupaten Wonosobo, perlu d'ketahui untuk para pembaca, terimakasih. semoga bermanfaat.

Eko Sarwono

Eko Sarwono Mbah fanani masih satu keluarga dengan pnpes yg ad dikuningan....kebetulan beliau msih kerabat dengan salah satu guru dr mbah kakungku....

Muhammad Nawawie

Muhammad Nawawie Semoga kami bisa dipertemukan dg mbah FANANI, amin. Beliau punjer tanah Jawa.

Rohmad Spd

Rohmad Spd Subkhanallah.Tidak makan dan tidak minum sekian tahun, Mbah Fanani masih segar bugar.

Rohmad Spd

Rohmad Spd Kalau dihitung sejak Mbah Fanani pergi dari desanya tahun 1970 bersamaan hujan deras waktu itu, sampai sekarang sudah tahun 2015. Berarti sudah 45 tahun Mbah Fanani bertapa.

Kur Main

Kur Main mudah mudahan, sebelum mbah fanani selesai bertapa saya bisa bertemu berjabat tangan dan berdoa bersama, mbah fanani meng amini doaku. nuwun dan maaf

Mugiyono

Mugiyono Assalamualaikum Mbah Fanani,, moga slalu dapat Rahmat dari Allah.


Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Tulisan Cerita, Kisah, Sejarah Mbah Fanani (Syeh Fanani), Masih Ada Sampai Sekarang, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.