Biografi Salahudin Al-Ayubi (1138 - 1193)
Shalahuddin Al-Ayubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota
Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M.
Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan
anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin
Zangi.
Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya
Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub atau Saladin/salahadin
(menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh
(sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah
perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud
atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada
istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi
muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah
ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin
pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang
panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya Shalahuddin
menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid
(turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Dinobatkannya Shalahuddin menjadi
sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga
setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih Ismail bersengketa soal
garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan
Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail
terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh
pada tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan
Islam di Mesir kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dalam menumbuhkan wilayah
kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader dari
Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin sempat mundur dari
peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan singkat
di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin tersebut
mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem
memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang
digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi
Raynald mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin
menyerang kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of
Hattin, sekaligus mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap
rajanya, Guy of Lusignan.
Akhirnya seluruh Jerusalem kembali
ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun runtuh. Selain Jerusalem
kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya Jerusalem ini
menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third
Crusade.
Perang Salib Ketiga ini menurunkan
Richard I of England ke medan perang di Battle of Arsuf. Shalahuddin pun
terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa menjungkalkan
invincibilty Sholahuddin. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard
cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu
ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.
Pada tahun 1192 Shalahuddin dan
Richard sepakat dalam perjanjian Ramla, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim
dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Setahun berikutnya Shalahuddin
meninggal dunia di Damaskus setelah Richard kembali ke Inggris. Bahkan ketika
rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya
pemakamannya, hartanya banyak dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya.
Data lengkap tentang King Salahudin
Al-Ayubi
Memerintah 1174 M. – 4 Mac-1193 M.
Dinobatkan 1174 M.
Nama lengkap Yusuf Ayyubi
Lahir 1138 M. di Tikrit, Iraq
Meninggal 4 Maret-1193 M. di Damaskus, Syria
Dimakamkan Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Pendahulu Nuruddin Zengi
Pengganti Al-Aziz
Dinasti Ayyubid
Ayah Najmuddin Ayyub
Selain dikagumi Muslim, Shalahuddin
atau Saladin/salahadin mendapat reputasi besar di kaum Kristen Eropa, kisah
perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa,
salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.
Masa lalu memang tidak mudah pergi
meskipun kita seperti tak ingin menengoknya. Bahkan di salah satu tembok Masjid
Umayyah yang dulu adalah Katedral Yahya Pembaptis yang dipermak jadi masjid
yang indah di tahun 700-an itu, seorang sejarawan masih menemukan sisa
inskripsi ini: “Kerajaan-Mu, ya, Kristus, adalah kerajaan abadi….”
Tapi jika masa lalu tak mudah pergi,
dari bagian manakah dari Saladin yang akan datang kepada kita kini? Dari ruang
makamnya yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan? Kisah Saladin adalah
kisah peperangan. Dari zamannya kita dengar cerita dahsyat bagaimana
agama-agama telah menunjukkan kemampuannya untuk memberi inspirasi keberanian
dan ilham pengorbanan – yang kalau perlu dalam bentuk pembunuhan.
Tapi
sebagian besar kisah Saladin – yang tersebar baik di Barat maupun di Timur dari
sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke- 12 itu – adalah juga cerita
tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin
menumpahkan darah. Saladin merebut Jerusalem kembali di musim panas 1187.
Tapi menjelang serbuan, ia beri
kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa
melawan pasukannya dengan terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya
kalah juga, yang dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani
budak-budak. Saladin malah membebaskan sebagian besar
mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika pasukan Perang Salib
dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan
sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
“Anakku,” konon begitulah pesan Sultan itu kepada anaknya, az-Zahir, menjelang
wafat, “…Jangan tumpahkan darah… sebab darah yang terpercik tak akan tertidur.”
Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun,
ikhtiar itulah yang tampaknya dilakukan Saladin. Meskipun tak selamanya ia
tanpa cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan, kita toh tahu,
bagaimana pemimpin pasukan Islam itu bersikap baik kepada Raja Richard Berhati
Singa yang datang dari Inggris untuk mengalahkannya. Ketika Richard sakit dalam
pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir yang segar dingin dalam salju, dan
juga seorang dokter.
Lalu perdamaian pun ditandatangani, 1 September 1192, dan pesta diadakan dengan
pelbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa
melahirkan orang sebaik itu.
Kita sekarang juga mungkin takjub
bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu. Terutama ketika orang
hanya
mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari abad ke- 12 tapi
meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh peperangan. Tapi
pentingkah sebenarnya masa silam?
Dari makam telantar orang Kurdi yang
besar itu, suatu hari di tahun 1970-an, saya kembali ke pusat Damaskus, lewat
lorong bazar yang sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh, keriuhan yang
mungkin tanpa sejarah.
Semoga Bermanfaat
*********************************************************************************
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Biografi Salahudin Al-Ayubi (1138 - 1193), jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.
Gabung dalam percakapan