Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Tanya Jawab Hal Suap Untuk Mendapat Pekerjaan menurut Islam



Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya sudah bertahun-tahun mencari pekerjaan, tetapi belum mendapat­kan­nya juga. Mungkin sulit sekali menda­patkan pekerjaan kecuali dengan me­nyuap. Saya sangat membutuhkan pe­kerjaan untuk membiayai kehidupan saya dan keluarga. Bagaimana hukum menyuap dalam kondisi seperti itu?

Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
----------------------------------- JAWAB :
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam suatu pengambilan keputus­an hukum. Hadits yang menyatakan itu diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, dan At-Tirmidzi. Dalam riwayat Ahmad dikatakan, “Allah melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang menjadi perantara suap-menyuap di antara mereka berdua.”

Perkataan “melaknat” dalam hadits tersebut menunjukkan keharaman. Pe­ngertian suap (rasywah) pada mulanya adalah harta yang diberikan untuk mem­batalkan atau mempengaruhi sebuah keputusan hukum atau untuk melegiti­masi suatu kebathilan. Suap dalam dua pengertian tersebut telah disepakati ke­haramannya. Karena itu, seorang hakim dilarang menerima suap.

Orang yang menyuap agar diterima dalam suatu pekerjaan padahal ia tidak berhak, misalnya karena calon-calon lain lebih baik kemampuannya atau hasil tesnya, berarti ia melakukan perbuatan haram. Karena, ia mengambil hak orang lain yang seharusnya diterima. Begitu juga dengan orang yang menerima suapnya.

Allah SWT berfirman yang artinya, ”Dan janganlah sebagian kalian mema­kan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat dosa padahal kalian mengetahui (QS Al-Baqarah: 188).

Adapun bila seseorang menyuap karena terpaksa dan hanya untuk mendapatkan apa yang sebenarnya telah menjadi haknya, atau untuk menghindari suatu perlakukan zhalim atas dirinya atau keluarganya, suap seperti itu tidak menjadi dosa. Beberapa orang dari kalangan tabi‘in berpendapat bahwa tidak mengapa seseorang me­nyuap untuk menghindari kezhaliman atas dirinya atau hartanya. Karena itu, apabila seseorang telah dinyatakan lulus atau diterima dalam suatu pekerjaan dan semua persyaratan telah dipenuhinya, pekerjaan itu telah menjadi haknya. Sehingga, jika ia terpaksa harus mem­beri­kan uang dalam jumlah tertentu, yang berarti menyuap, dan kalau tidak mau tidak akan diterima, ia boleh me­lakukan itu, karena ia hanya ingin mengambil haknya. Sedangkan yang berdosa adalah yang menerima atau meminta uang itu.

Adapun Imam Asy-Syaukani berpen­dapat bahwa suap-menyuap diharam­kan secara mutlak, tanpa ada penge­cualian. Namun para ahli fiqih menolak pendapatnya itu berdasarkan kaidah bahwa dalam kondisi darurat sesuatu yang haram boleh dilakukan.

Berkaitan dengan masalah yang di­tanyakan, Anda tetap tak boleh menyuap untuk diterima bekerja meskipun Anda dan keluarga membutuhkannya. Ke­cuali, bila pekerjaan itu telah menjadi hak Anda sebagaimana dijelaskan di atas. Yakinlah bahwa kesempatan bekerja dalam berbagai lapangan masih terbuka lebar asalkan kita mau berusaha, terus menambah pengetahuan dan keteram­pilan kita, serta selalu memohon kepada-Nya. Kami menyarankan agar Anda tak putus asa dalam mencari pekerjaan, se­lalu mencari informasi peluang-peluang kerja, menjalin silaturahim, dan terus memohon kepada Allah dan mengharap bimbingan-Nya. Dengan melakukan hal-hal itu, insya Allah Anda akan menda­pat­kan pekerjaan yang baik dan cocok se­bagaimana yang diharapkan. (majalah-alkisah/Thursday, 11 April 2013)


Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Tanya Jawab Hal Suap Untuk Mendapat Pekerjaan menurut Islam, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.