Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Riwayat Simbah Kyai Abu Sujak Munggang Siwarak Mojotengah

Buku Riwayat Simbah Kyai Abu Sujak Munggang Siwarak Mojotengah

BUKU RIWAYAT SIMBAH KYAI ABU SUJAK MUNGGANG SIWARAK MOJOTENGAH

TIM PENYUSUN Gunawan, S. H
EDITOR - Andhika Dwi Nugroho, A. Ma. Pust
- Nasyiin Faqih, S.T., M.T.
BEKERJA SAMA DENGAN - Komunitas Wonosobo Heritage
- Pondok Pesantren Asy-Syuja’iyyah
Cetakan 1 Februari 2024

DAFTAR ISI

Daftar Isi Artikel:

A. Riwayat Hidup

Simbah Kyai Abu Sujak adalah seorang Kyai Sepuh yang memiliki nama kecil Zaenal Abidin (زين العابدين). Karena kepandaian dan keberanian sewaktu menuntut ilmu di Gading Tuntang Salatiga, nama dewasa beliau diganti menjadi Abu Syuja’ (أبو شجاع) oleh guru agama beliau.[1]

Simbah Kyai Abu Sujak memiliki peranan penting di daerah Wetan Kali (timur Sungai Serayu) Kabupaten Wonosobo ketika era penjajahan Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia.

Foto Simbah Kyai Abu Sujak
Foto Simbah Kyai Abu Sujak
Foto KH. Chasbulloh Bumen
Foto KH. Chasbulloh Bumen

Melalui K.H Chasbulloh Bumen, beliau diminta untuk melanjutkan dakwah Tarekat. Namun, Simbah Kyai Abu Sujak lebih memilih dibangunkan asrama di samping masjid yang dibangun setelah beliau pulang nyantri dari Gading Tuntang Salatiga[2] untuk mukim para santri.[3]

Pada masa lalu, Asrama ini diberi nama MINO (Majlis Islam Nahdlatul ‘Oelama) yang sekaligus menjadi satu-satunya tempat mukim para santri dengan sistem pengajaran Madrasah Salafiyyah di Kabupaten Wonosobo yang kala itu penyebaran dakwahnya berpola Tarekat, mengaji di Masjid atau rumah para pengajarnya.[4]

Denah Masjid dan Asrama di akta wakaf
Denah Masjid dan Asrama di akta wakaf

B. Keluarga

Beliau merupakan putra dari Surosentiko sekaligus juga sebagai cucu dari K.H. Abdurrahman Sampangan, yang berprofesi sebagai seorang juru tulis (schijver) Demang Garung di Kalibeber dan termasuk dalam jejaring laskar Diponegoro yang ikut berperan dalam pendirian masjid dan pesantren kuna di Desa Sampangan, Kaliangkrik, Magelang yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Al Huda Sampangan.[5]

Gerbang Makam KH. Abdurrahman di Sampangan Kaliangkrik Magelang
Gerbang Makam KH. Abdurrahman di Sampangan Kaliangkrik Magelang
Makam K.H. Abdurrahman Sampangan Kaliangkrik Magelang
Makam K.H. Abdurrahman Sampangan Kaliangkrik Magelang
Masjid Al Huda Sampangan dengan pohon sawo di depan masjid
Masjid Al Huda Sampangan dengan pohon sawo di depan masjid

Sebagai putra keempat dari enam bersaudara,[6] beliau mulai membangun rumah tangga setelah selesai nyantri, yaitu dengan Ny. Sumi/Semi yang berasal dari Desa Kemejing, kemudian dengan Ny. Siti yang berasal dari Sumatera. Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda tahun 1947, Simbah Kyai Abu Sujak mengungsi di Desa Dero dan setelah mengungsi beliau melangsungkan pernikahan yang ketiga kalinya dengan Ny. Siti Mangunah, putri H. Djuwaini dari Kalibeber. Pernikahan ketiga Kyai Sujak terjadi setelah istri pertama wafat dan atas saran dari Kyai Asy’ari Kalibeber.[7]

Simbah Kyai Abu Sujak memiliki 14 putra dari kedua[8] istri beliau. Beberapa putra beliau yang terkenal misalnya, Kyai Slamet Saifudin yang menjadi kyai masyhur di Jetis Leksono, K.H Masyduki Zain yang memugar Masjid Munggang dan juga sempat mendirikan Pesantren di Kalianget, Kyai Achmad Syukur yang meneruskan Masjlis Ta’lim Asy-Syuja’iyyah yang sekarang menjadi TPQ-Madin Asy-Syuja’iyyah, dan Kyai Chabib Syuja’i yang mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah Asy-Syuja’iyyah II di belakang rumah beliau atas dorongan dari K.H. Muntaha Al Hafidz.

Foto ndalem lama Simbah Kyai Abu Sujak warisan dari Simbah Lurah Nur tahun 2004
Foto ndalem lama Simbah Kyai Abu Sujak warisan dari Simbah Lurah Nur tahun 2004

C. Riwayat Pendidikan

Simbah Kyai Abu Sujak menempuh pendidikan agama selama kurang lebih 21 tahun[9]. Diantaranya di Tremas Pacitan, Tebuireng Jombang, dan Gading Tuntang Salatiga. Dalam proses pendidikan, Beliau akan melakukan perjalanan pulang ke Wonosobo setiap tujuh tahun, kemudian berangkat lagi untuk meneruskan Pendidikan[10].

Salah satu kitab Simbah Kyai Abu Sujak yang ter stampel pondok Gading tuntang Salatiga.
Salah satu kitab Simbah Kyai Abu Sujak yang ter stampel pondok Gading tuntang Salatiga.
Tanda tangan pemilik kitab yang tertulis syuja’ (شجاع)
Tanda tangan pemilik kitab yang tertulis syuja’ (شجاع)

Selama menempuh pendidikan, beliau dibiayai oleh Simbah Lurah Nur, yang menjabat sebagai Kepala Desa Munggang yang sekaligus merupakan ayah tiri beliau[11].

Simbah Lurah Nur merupakan tokoh yang memiliki keterkaitan dengan sejarah Desa Munggang[12], Kalibeber, Mojotengah.

Menurut Ny. Sitinah, Simbah Lurah memiliki gamelan yang dikenal dengan sebutan Gamelan Semunggang. Dari nama gamelan tersebut, kemudian disematkan untuk menjadi nama wilayah yang disebut Desa Munggang dan pada masa kini menjadi Dusun Munggang Bawah yang masuk wilayah Kelurahan Kalibeber.

Peta Desa Mungang tahun 1956
Peta Desa Mungang tahun 1956

Setelah selesai menempuh pendidikan, kemudian beliau bermukim di Munggang Siwarak[13] sekitar tahun 1924 Masehi[14].

Beliau lantas menikah dengan Ny. Semi yang ketika itu dikenal sebagai rewang[15] Simbah Lurah Nur.

Menurut keluarga besarnya atau dzuriyyah dan para Alumni, beliau memiliki beberapa keahlian, seperti ilmu pertanian, perdagangan, dan perikanan skala kecil yang sekaligus manjadi mata pencaharian beliau.[16]

Keahlian dalam bidang agamanya meliputi Nahwu Shorof dan Balaghoh yang dapat dinilai melalui syair gubahanya yang sampai sekarang masih dilakukan proses penelaahan.

Keistimewaan yang dimiliki oleh Simbah Kyai Abu Sujak lainnya, baik ketika mengajar tafsir, bandungan[17] Al-Qur’an, atau kitab Bukhori Muslim, beliau sering mengempit[18] kitab yang dikaji, kadang menutup kitab tanpa harus melihat halaman yang diajarkan. Walaupun demikian, ketika beliau mengambil kitab di tumpukan rak, akan mudah menemukan walaupun lembaran kitab tidak tertata dan tanpa sampul.[19]

Banyak dari alumni yang memanggil dengan sebutan syaikh, karena kuatnya hafalan dan kepahaman dalam mengajar Kitab Bukhari.

Kendati Simbah Kyai Abu Sujak menggunakan Toriqoh Naqsabandiyyah[20], tetapi para santri yang berada di bawah didikannya hanya menggunakan wirid pada umumnya dan sholawat, khususnya sholawat nariyah minimal dilakukan 1 kali dalam sehari.

Dalam ilmu hikmah atau ilmu kejadugan, santri beliau juga banyak yang sering mengijazahkan keilmuan dan doa yang disebut berasal dari Simbah Kyai Abu Sujak.

Simbah Kyai Abu Sujak sendiri memiliki beberapa kitab favorit[21] yang sering di ulang-ulang pengajaranya, seperti Kitab Taqrib, Kitab Durorul Bahiyah, dan Kitab Bidayatul Hidayah. Ketiga kitab ini sering beliau rekomendasikan kepada masyarakat atau santri yang selesai mengaji turutan[22].

PERJUANGAN

A. Pendirian Masjid

Salah satu hal yang mengokohkan perjuangan Simbah Kyai Abu Sujak di Munggang adalah berdirinya Masjid Munggang.

Naskah Kolonial Tahun 1868, masih ada candi berdiri di antara Klesman dan desa Candi(rejo), Jalur Ondo Budho sampai Kalibeber dan Munggang
Naskah Kolonial Tahun 1868, masih ada candi berdiri di antara Klesman dan desa Candi(rejo), Jalur Ondo Budho sampai Kalibeber dan Munggang

Masjid ini didirikan setelah lindu[23] yang terjadi pada tahun 1924 Masehi. Tanah untuk pendirian Masjid tersebut, dibeli dari tetangga yang bersebelahan dengan rumah beliau.[24]

Baca juga: Gempa Terbesar di Wonosobo : Lebih Dari 1.000 Orang Meninggal

Arsip tentang jembatan di kali proempoeng penghubung Desa Kalibeber dan Desa Moengang ambruk saat gempa 1924.
Arsip tentang jembatan di kali proempoeng penghubung Desa Kalibeber dan Desa Moengang ambruk saat gempa 1924.

Terdapat dua versi mengenai asal material bahan kayu untuk pembangunan Masjid Munggang. versi pertama menyebut bahwa bahan kayu diperoleh dari bekas sebuah Masjid di wilayah Banjarnegara dan materialnya dibawa dengan truk. Sementara versi kedua menyebut bahwa material masjid dibawa dari Pesantren Gading Tuntang Salatiga yang ditarik menggunakan sapi dan dibawa selama berbulan-bulan.

Masjid ini memiliki luas sekitar 225 m2 dengan konstruksi bangunan ditopang 4 pilar yang disebut sebagai saka guru. Profil atap berbentuk tajug serta dilengkapi dengan serambi beratap limasan, yang menggunakan atap genting.

Akses masuk ke dalam Masjid melewati 3 pintu berlanggam Indies[25] dengan model kupu tarung. Masjid juga dilengkapi dengan kentongan yang terbuat dari kayu nangka dan bedug serta mimbar sederhana untuk khutbah.

Masjid dikelilingi halaman yang cukup luas dan difungsikan untuk berkumpul jama’ah serta tempat aktifitas sosial budaya masyarakat setempat. Untuk keperluan wudhu dan mandi, disamping Masjid dibangun blumbang[26] yang dinaungi pohon-pohon peneduh seperti Nangka, Klengkeng, Jeruk Pamelo, Cengkeh, dan Kantil.[27]

Dulu di munggang suasa malam dan pagi masih sangat sepi karena belum ada jalan menuju ngebrak.

Pada masa itu, wilayah Munggang juga belum teraliri listrik, sehingga untuk menandakan waktu sholat shubuh, jama’ah masjid akan menyalakan api di halaman masjid dengan ijuk kelapa, stropas, dolo serta untuk bagian dalam Masjid, menggunakan senthir.

Dengan kontur tanah di Munggang relatif tinggi dari daerah sekitarnya, membuat lantunan suara muadzin bisa terdengar hingga wilayah Kalianget, Kalibeber, dan Ketinggring yang berjaraknya 1-2 kilometer dari Masjid Munggang.

Apabila telah tiba waktu sholat dan sekaligus menandakan aktifitas pagi sudah dimulai, masyarakat dan para santri banyak yang menggunakan sandal kayu atau bakiak sebagai alas untuk berjalan, dengan suara langkah yang khas dan terkesan ramai.

Ada cara unik untuk membangunkan masyarakat untuk ikut sholat berjamaah, yaitu santri yang sedang berjalan ke masjid, menggunakan tongkat bambu untuk dijadikan teken sembari memukul ringan, dua sampai tiga kali pada pagar rumah bambu masyarakat yang dilewati, untuk sekedar memberi kode sudah tiba waktu fajar[28].

Bagian dalam masjid dikenal werid[29] dan jarang santri yang berani tidur didalam, anak kecil yang belum khitan pun tidak diperbolehkan masuk dan hanya diperbolehkan sholat berjama’ah di serambinya.

Ada juga dampar[30] di depan soko guru Masjid yang sampai lapuk tidak ada yang berani memindah, karena dampar tersebut dulunya digunakan untuk mengaji Simbah Kyai Abu Sujak[31].

Masjid ini dipugar tahun 1980an, dan hanya menyisakan Umpak serta Mimbar. Soko Gurunya dipotong untuk dijadikan kusen jendela dan pintu Masjid yang sekarang.

Pemugaran Masjid Munggang sekitar tahun 1980an
Pemugaran Masjid Munggang sekitar tahun 1980an

B. Pendirian Asrama Santri MINO (Majlis Islam Nahdlatul 'Oelama)

Menurut para Alumni Pondok MINO angkatan 1940an, banyak yang belum mengetahui bahwa terdapat MINO yang didirikan di Munggang dan merupakan pioneer pendidikan Islam moderen di Kabupaten Wonosobo. Hal ini tidak lepas bahwa masyarakat Wonosobo pada masa lalu, hanya mengenal Pondok Pesantren di Munggang Siwarak, Gading, dan Payaman.

Foto pemugaran Masjid Munggang sekitar tahun 1980an, yang sudah tidak menyisakan bangunan asrama.
Foto pemugaran Masjid Munggang sekitar tahun 1980an, yang sudah tidak menyisakan bangunan asrama.

Bangunan MINO berupa asrama sederhana, yang dibangun dengan menggunakan material dari kayu kelapa, beratap genting, bawah bangunanya menggunakan tembok dengan batu kapur, profil bangunanya seluas kurang lebih 150 m2, dibuat semi panggung dengan ruang tanpa sekat. Hal ini dimaksudkan agar tempat tersebut dapat digunakan sebagai tempat tidur dan aktifitas harian santri mukim. Ketika jumlah santri semakin banyak dan kapasitas asrama terbatas, maka santri biasanya tidur di serambi Masjid Munggang.

Seiring perkembangan waktu, pada saat gelaran pengajian seton[32] di halaman Masjid akan dikunjungi ratusan santri mukim dan santri kalong[33] dari wilayah lain seperti Desa Krasak, Kalibeber, Bogelan, Binangun, Dero, dan wilayah lainnya.[34]

Aktifitas pengajaran MINO dimulai setelah dzuhur atau sesudah santri selesai bersekolah di Sekolah Rakyat (SR)[35], maupun setelah mengurus pertanian, perikanan, ngandong[36], hingga berjualan.

Manuskrip daftar kitab-kitab yang diajarkan di MINO
Manuskrip daftar kitab-kitab yang diajarkan di MINO

Jadwal santri di asrama MINO dimulai setelah Ashar yang diawali dengan mengaji ekstra, kemudian Maghrib untuk mengaji Al Quran atau turutan dan Isya’ untuk pengajaran kitab besar bagi santri yang sudah lama atau mahir[37].

Selama masa belajar, santri tidak akan bebankan biaya apapun, justru santri yang mukim dan tidak nyangu[38]. Mereka akan ikut bertani dan memelihara ikan untuk kebutuhan hidup selama di Pesantren.

Sikap revolusioner Simbah Kyai Abu Sujak dengan memberi plakat nama Asrama MINO di depan Masjid pada era keemasanya. Hal ini merupakan respon dari kalangan Pesantren atas fenomena gerakan pendukung organisasi nasionalis maupun agamis yang bersifat radikal di Wonosobo yang memiliki pola dakwah dan politik yang berbeda dengan pola yang diterapkan Kyai Pesantren.

Kitab cetakan dengan inkripsi tahun 1931
Kitab cetakan dengan inkripsi tahun 1931

Menurut masyarakat, santri-santri Simbah Kyai Abu Sujak kebanyakan menjadi tokoh di desa tempat mereka berasal, baik sebagai perangkat desa, pejabat, aparatur penegak hukum, kyai di mushala maupun masjid, hingga beberapa diantranya mendirikan pesantren.

Simbah Kyai Abu Sujak memiliki santri yang dikenal sebagai pendiri pondok pesantren, seperti KH Muzaki Ahmad Kongsi Bumirejo yang mendirikan Ponpes Al Hidaayah, KH Ghozali Syihab Siwatu pendiri Pesantren Miftahul Huda, KH Muntaha Al-Hafidz Kalibeber yang mendirikan PPTQ Al-Asy’ariyyah, Kyai Masruch Bumirejo pendiri Pesantren Mukhtarul Muktaj, KH Masykur Bumen pendiri Pesantren Al Futuhiyyah, Kyai Nahrowi Krinjing pendiri Madrasah Nurul Hidayatusibyan, Kyai Muhlasin Bululawang pendiri PPTQ Ibadallahil Mukhlasin, dan masih banyak lainnya.

Tak hanya itu banyak santri mukim dari luar kabupaten juga seperti dari Cirebon, Banyumas, Purbalingga, Pekalongan, Banjarnegara, dll.

C. Mempopulerkan Tradisi Majruran

Menurut para Alumni MINO Angkatan 1955, di Munggang terdapat tradisi Majruran, Berjenjen, Pencak, Ritus Wedus Kendit, Nyadran, dan juga tontonan Imbligan maupun sejenisnya, yang sudah ada sejak awal pendirian Masjid Munggang.

Namun, hingga sekarang yang masih bertahan adalah Berjenjen[39] walaupun dengan versi tersendiri karena terdapat penambahan bacaan di dalam sya’ir dan sebelum sya’ir nya[40].

Tradisi itu dilakukan para santri untuk mengisi waktu luang sebelum maupun sesudah khataman Al Quran yang dilakukan di Pesantren maupun rumah warga. Selain itu sebagai sarana hiburan santri, Majruran menjadi selingan yang ditunggu-tunggu [41] setelah proses pembelajaran.

Salah satu syair majruran bahasa arab yang dilantunkan oleh santri beliau Kyai Muhlasin Bululawang
Salah satu syair majruran Bahasa Arab yang dilantunkan oleh santri beliau Kyai Muhlasin Bululawang
Salah satu syair majruran bahasa indonesia yang dilantunkan oleh santri beliau Kyai Muhlasin Bululawang
Salah satu syair majruran Bahasa Indonesia yang dilantunkan oleh santri beliau Kyai Muhlasin Bululawang

Majruran sendiri adalah tradisi melantunkan syair dalam bahasa Arab, Jawa, dan Indonesia yang digabung serta di lantunkan dengan iringan alat musik seadanya, seperti kentongan, ketimpring, tamborin, dan bass.

Baik Simbah Kyai Abu Sujak, para putra dan santri-santrinya banyak menciptakan maupun menggubah dan mempopulerkan syi'iran yang berisi tema perjuangan, kehidupan santri, doa, pujian setelah adzan, dan bait tentang Nahdlatul Ulama[42].

Tradisi Majruran berhasil mengakar dan memberikan warna baru terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Sehingga pada masa penjajahan, melalui lirik Majruran tersebut dapat mengobarkan semangat patriotisme dan ke-NU-an masyarakat.

D. Dakwah

Simbah Kyai Abu Sujak merupakan salah satu ulama besar pada zamannya, dan sering disowani bahkan didatangi oleh Simbah Abunangin dari Kebutuh Ngadikusuman Wonosobo dan para ulama lokal Wonosobo lainnya guna dirujuk pendapatnya tentang fikih maupun dimintakan do’a.[43]

Simbah Kyai Abu Sujak juga pernah mengajar agama Islam di S.R. Kalibeber dan menjalankan dakwah kelililing ke pelosok desa seperti Silandak, Dero, Salam, Bulu Lawang, Melikan, Kertek, Binangun, Krinjing, Kemejing, Tieng, Koripan, Kalianget, Gemblengan, Batur, Kasiran, dan lain-lain[44].

Beliau biasa melakukan perjalanan dengan naik kuda atau ditandu. Walaupun demikian, beliau lebih sering tindak[45] dengan santri sambil menggendong putra beliau yang kadang ikut diajak berdagang seperti jam dinding, pakaian, atau apa pun yang dapat dijual.

Ketika pulang, beliau sering dibawakan punjugan[46] dari desa yang mengundang di pengajian selapanan[47], khataman Al Quran, Selamatan, pengajian bulan Rajab, perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W., dan undangan untuk menunggu rumah yang baru selesai dibangun[48].

Peran lain yang tidak kalah penting Simbah Kyai Abu Sujak, adalah pernah didapuk manjadi Qadli[49] di Wonosobo selepas kemerdekaan Indonesia. Kendati beliau menolak, karena ingin fokus mengajar damparan[50] dan kurangnya keahlian beliau dalam berpidato.

Namun, pejabat pada saat itu mengharuskan dan tidak boleh menolak, dan juga karena dorongan dari K.H. Muntaha Al Hafidz Wonosobo, beliau akhirnya menerima tugas tersebut[51].

Tidak lama selepas pelantikan, Simbah Kyai Abu Sujak mendadak sakit rematik terutama di kedua kaki yang sering kambuh, terlebih apabila kedinginan. Hal ini kemudian mengakibatkan beliau susah beraktifitas dan menjalani masa tua dengan berada di rumah, serta mengajar para santri.

E. Wafat

Masyarakat mengingat beliau sebagai orang yang dermawan, sampai beberapa bidang tanah beliau dibagikan untuk orang yang dikehendaki dengan beliau, untuk dibangun rumah atau kolam ikan.

Beliau merupakan santri yang tunduk terhadap guru sampai beliau tidak berhaji karena ikut fatwa dari KH. Hasyim ‘Asy-ari yang mengharamkan haji[52].

Selain itu beliau terkenal keras dalam mengajar, bahkan tidak segan menggitik[53] santri ketika salah membaca Al-Qur’an atau membentak santri ketika sulit memahami materi.

Disisi lain beliau adalah orang yang sangat gemar bersalaman kepada siapapun saat bertemu[54].

Beliau menderita rematik selama kurang lebih 13 tahun. Untuk beribadah dan menjalani aktifitas sehari-hari, beliau digendong atau dipapah oleh para putra, santri, dan masyarakat.

Walaupun sempat dibawa berobat ke Rumah Sakit Tentara Magelang, tetapi ketika itu ilmu pengobatan belum berkembang dan tindakan penanganan medis yang masih kurang optimal. Karena tidak ada perkembangan, Simbah Kyai Abu Sujak akhirnya dirawat di rumah[55].

Ketika sakit beliau sering didatangi Simbah Abunangin, dari beliau pula yang menyebut Simbah Kyai Abu Sujak dengan sebutan “Kyai Pongkleh.”

Menurut beberapa orang, sebutan Kyai Pongkleh muncul karena beliau sulit berjalan. Sedangkan menurut pendapat lain, nama “pongkleh” merupakan singkatan dari nampung kalangan sholeh[56].

Kendati dalam keadaan sakit, Simbah Kyai Abu Sujak masih tetap mengajar para santri serta mendidik putra-putri beliau. Misalnya, ketika berhalangan menjadi imam masjid, Simbah Kyai Abu Sujak mewakilkan tugas tersebut kepada santri, masyarakat, maupun putra beliau yang sudah dewasa.

Perjuangan panjang dalam syiar agama menjadikannya salah satu tokoh yang menjadikan wilayah Kalibeber menjadi daerah basis Nahdlatul Ulama yang memiliki semangat dan memiliki akar budaya dalam beragama serta mempunyai standar keilmuan yang relevan terhadap perkembangan zaman.

Simbah Kyai Abu Sujak wafat pada hari Sabtu, 8 Sya'ban 1395 Hijriyah atau bertepatan 16 Agustus 1975 dalam usia lanjut, selepas beberapa hari tetirah[57] ke rumah K.H. Fathurrohman di Rt. 02 Rw. 11 Munggang[58].

Foto Makam Simbah Kyai Abu Sujak
Foto Makam Simbah Kyai Abu Sujak

Hingga sekarang, keturunan Simbah Kyai Abu Sujak maupun masyarakat Munggang masih memperingati hari wafat beliau dengan menggelar Haul pada tanggal 8 ruwah/sya’ban yang digelar setiap tahun.

Foto acara haul di makam Simbah Kyai Abu Sujak
Foto acara haul di makam Simbah Kyai Abu Sujak

CATATAN KAKI

[1] Wawancara dengan KH. Masyduki Zain (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 79) pada tahun 2019.

[2] Pesantren di dekat danau Rawa Pening yang merupakan Pesantren tertua kedua di Kab. Semarang. Masyarakat Tuntang meyakini pesantren ini didirikan oleh Almaghfurlah Simbah K.H. Hasyim Zaenuddin bin Muhammad Nur yang wafat tahun 1960. Memiliki karangan kitab Hidayatul umyan ila sabilil Irfan ringkasan kitab Syamsul Bayan tulisan dari Syaikh Abdulloh Rois bin Haji Abdul Aziz bin Qumbasani, namun kitab ini lebih dikenal sebagai Syahadat Kencono. Pesantren ini sekarang Bernama Pondok Pesantren Salafiyah Asy-Syafi’iyyah, program pendidikannya cukup cepat. Yaitu wajib belajar 6-7 tahun. Dengan kurikulum yang dikenal cukup menguras mental dan kecerdasan. Dimasa itu pesantren ini dikenal sebagai basis organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah.

[3] Ibid.

[4] Wawancara dengan Kyai Nasihun (santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 94) pada tahun 2021.

[5] Wawancara Kyai Quroisyin Kalibeber (sesepuh Desa Kalibeber umur 74) pada tahun 2019.

[6] Wawancara Fauzi Syuja’i (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 68) pada tahun 2021.

[7] Wawancara Kyai Quroisyin Kalibeber (sesepuh Desa Kalibeber umur 74) pada tahun 2019.

[8] Istri yang kedua tidak memiliki putra dan memilih pulang beserta rombongan dari Sumatra untuk hidup di sana.

[9] Wawancara Ny. Siti Mangunah (Istri Simbah Kyai Abu Sujak umur sekitar 96) pada tahun 2019.

[10] Wawancara dengan KH. Masyduki Zain (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 79) pada tahun 2019.

[11] Beliau menjadi ayah tiri setelah menikah dengan Ny. Fatimah istri dari Surosentiko.

[12] Nama Dusun Munggang sebelum tahun 1955 di sebut Munggang bawah atau Munggang Ngisor.

[13] Monggong Siwarak berasal dari dua suku kata Monggang yang diambil dari nama gending gamelan atau pada dasarnya merupakan konotasi ketukan karawitan dalam gamelan, dan Siwarak adalah nama lain badak dalam bahasa Jawa.

[14] Wawancara dengan Ny. Sitinah (menantu Simbah Kyai Abu Sujak umur 93) pada tahun 2019.

[15] Rewang berarti membantu keperluan rumah tangga.

[16] Wawancara Kyai Fatchurrohman (menantu Simbah Kyai Abu Sujak umur 67) pada tahun 2019.

[17] Bandungan yakni pengajian yang terdiri dari satu kiai dan banyak santri atau warga yang bergabung.

[18] Mengempit adalah membawa dengan menjepit di antara lengan dan badan dan merupakan salah satu cara membawa kitab bagi kalangan pondok pesantren untuk memotifasi santri beliau agar kelak bisa alim seperti beliau.

[19] Wawancara Fauzi Syuja’i (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 68) pada tahun 2021.

[20] Tarekat Naqsyabandiyah (bahasa Persia: نقشبندی) adalah sebuah tarekat utama dari ajaran tasawuf sunni. Namanya berasal dari Bahaudin al-Bukhari an-Naqsyabandi. Para guru Naqsyabandiyah menelusuri garis keturunan mereka hingga nabi Muhammad melalui Abu Bakar– khalifah pertama Islam dan Ali bin Abi Thalib khalifah keempat Islam. Karena silsilah ganda ini melalui Ali dan Abu Bakar melalui Imam Jafar ash-Shadiq, maka tarekat ini juga dikenal sebagai konvergensi dua samudra atau tatanan Sufi Jafar ash-Sadiq.

[21] Wawancara Fauzi Syuja’i (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 68) pada tahun 2021.

[22] Turutan atau buku metode membaca Al-Qur’an yang disusun oleh Abu Mansur Abdul Qafir Al-Baghdadi.

[23] Lindu adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk mendeskripsikan gempa dengan getaran sedang.

[24] Wawancara dengan Ny. Sitinah (menantu Simbah Kyai Abu Sujak umur 93) pada tahun 2019.

[25] Langgam indies dapat dilihat dari ukuran pintu yang besar dan dilengkapi dengan dekorasi tralis pada bagian boovenlicht.

[26] Blumbang adalah istilah untuk menyebut salah satu komponen pada masjid Nusantara, yang berbentuk kolam.

[27] Wawancara Miftakhul Khawaji (cucu Simbah Kyai Abu Sujak umur 54) pada tahun 2024.

[28] Wawancara Kyai Chabib Syuja’i (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 57) pada tahun 2019.

[29] Suci dan keramat.

[30] Meja lesehan.

[31] Wawancara Ghofir (putra dari Subandi, santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 50) pada tahun 2018.

[32] Seton adalah istilah lokal untuk jadwal pengajian di Masjid yang dilaksanakan pada hari Sabtu.

[33] Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, mereka bolak balik (Nglaju-Jawa) dari rumahnya sendiri ke pesantren.

[34] Sumber Kyai Munjamil (Imam Masjid Slukatan serta santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 101) pada tahun 2020.

[35] Sekolah Rakyat dibentuk pasca Politik Etis tahun 1901 dengan istilah Volkschool. Pasca Kemerdekaan, Presiden Soekarno mengganti istilah dengan bahasa Indonesia.

[36] Ngandong adalah istilah lokal untuk menyebut jenis pekerjaan dalam bidang jasa layanan antar dan jemput.

[37] Wawancara Simbah Sehuden (santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 98) pada tahun 2020.

[38] Uang saku adalah uang yang dibawa untuk keperluan sewaktu – waktu atau uang diberikan orang tua.

[39] Dalam bahasa Jawa, Barzanji juga disebut dengan istilah Berjanjen, merupakan tradisi yang biasanya satu paket dengan acara muludan. Dalam praktiknya, Berjanjen merupakan kegiatan membaca kitab Barzanji serta lantunan sholawat yang ditujukan untuk mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

[40] Wawancara Hambali (masyarakat dusun munggang umur 77) pada tahun 2021.

[41] Wawancara Kyai Muhlasin (santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 98) pada tahun 2020.

[42] Wawancara Kyai Nashihun (Imam Masjid Salam Lumajang Watumalang serta santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 98) pada tahun 2019.

[43] Riwayat Nasyi’in Faqih, S.T., M.T. (cucu Simbah Kyai Abu Sujak umur 51) dari dawuh KH. Muntaha Al-Hafidz saat beliau sudah punya rumah di Munggang Bawah.

[44] Wawancara KH. Nahrowi (santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 96) pada tahun 2019.

[45] Tindhak adalah istilah untuk menyebut aktifitas perjalanan seseorang, baik berjalan kaki maupun dengan moda transportrasi.

[46] Punjungan adalah bentuk tradisi masyarakat dengan cara membawakan makanan maupun kudapan untuk diserahkan kepada yang dikehendaki.

[47] Bentuk tradisi dalam perhitungan kalender Jawa dengan siklus setiap 35 hari.

[48] Wawancara Kyai Musthofa (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 67) pada tahun 2021.

[49] Qodli adalah jabatan setingkat hakim yang bertugas untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum Islam.

[50] Duduk mengaji menggunakan meja lesehan.

[51] Wawancara K.H. Nahrowi (santri Simbah Kyai Abu Sujak umur 96) pada tahun 2019.

[52] Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2019:72), mencatat bahwa kelangkaan jamaah haji di tahun tersebut karena faktor dorongan kuat agama. Sebab, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin tertinggi Masyumi mengeluarkan fatwa tidak wajib berhaji di tahun 1947.

[53] Memukul dengan tongkat bambu atau kayu yang digunakan untuk penunjuk kitab yang diajarkan kepada santri.

[54] Pada saat itu model pendidikanya memang keras dan yang seperti di ketahui bahwa santri-santri beliau juga keras dalam memperingatkan murid yang salah dalam membaca Al-Qur’an dan disi lain sangat gemar bersalaman seperti KH. Muntaha Al-Hafidz.

[55] Wawancara Fauzi Syuja’i (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 69) pada tahun 2021.

[56] Menurut KH. Masyduki Zain, KH. Muntaha Al Hafidz juga di sebut Muntil, yang ditafsiri menjadi (Jawa: Mbah Mun Akeh Sing Ngintil atau Simbah Muntaha banyak pengikutnya).

[57] Tetirah adalah salah satu cara spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME.

[58] Wawancara Kyai Achmad Syukur (putra Simbah Kyai Abu Sujak umur 56) pada tahun 2009.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Riwayat Simbah Kyai Abu Sujak Munggang Siwarak Mojotengah, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman Adalah Guru Terbaik. Maka, Kita Pasti Bisa Kalau Kita Terbiasa. Bukan Karena Kita Luar Biasa. Setinggi Apa Belajar Kita, Tidahlah Menjadi Jaminan Kepuasan Jiwa, Akan Tetapi Yang Paling Utama Adalah Seberapa Besar Kita Bermanfaat Untuk Sesama.