Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih

Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih, Oleh: Muhamad Abror
Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih, Oleh: Muhamad Abror

Dalam sejarah yurisprudensi Islam, fiqih memiliki sejarah yang panjang. Dr Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M) membagi periodisasi perkembangan fiqih dalam tiga babak. Periode pertama saat Nabi Muhammad saw masih hidup, periode kedua pada masa sahabat saat Nabi sudah tiada, dan periode ketiga pada masa tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid. Tiap-tiap periode memiliki dinamika yurisprudensinya masing-masing.

Sebelum menjelaskan tiap-tiap periodenya, ada baiknya penulis paparkan definisi fiqih menurut para ulama dan ruang kajiannya dalam Islam. Dengan begitu, kita akan tahu wilayah kajiannya.

Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini (w. 1085 M), seorang guru besar Madrasah Nizamiyyah, atau biasa disebut Imam Al-Haramain, dalam Al-Waraqat mendefinisikan fiqih sebagai berikut,
معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الإجتهاد
“Mengetahui hukum-hukum syari’at melalui metode ijtiad.” (lihat Syarah Mahalli atas Al-Waraqat, hal. 26)

Dari definisi di atas, Imam Jalaluddin al-Mahalli mencontohkan, diantanya: mengetahui hukum wajib dalam niat wudhu, hukum sunah pada shalat witir, niat malam hari untuk berpuasa Ramadhan adalah syarat wajib, dan lain sebagainya. Semua hukum tersebut diketahui dengan jalan ijtihad oleh para ulama. (lihat Syarah Mahalli atas Al-Waraqat, hal. 26)

Lebih detail lagi, Imam Mahalli dalam Syarah Jam’ul Jawai’, mendefinisikan Fiqih sebagai berikut,
(و الفقه العلم بالآ حكام) أي بجميع النسب التامة (الشرعية) أي المأخوذة من الشرع المبعوث به النبي الكريم
(العملية) أي المتعلقة بكيفية عمل قلبي أ غيره كالعلم بأن النية في الوضوء واجبة و أن الوتر مندوب.
(المكتسب) ذلك العلم من أدلنها التفصيلية للأحكام.
“Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at Nabi Muhammad saw yang bersifat aplikatif, baik berkaitan dengan pekerjaan hati atau fisik, seperti mengetahui hukum wajib atas niat wudhu dan hukum sunah atas shalat witir. Pengetahuan itu harus diusahakan (bukan otomatis) melalui dalil-dalil parsial” (lihat Syarah Imam Mahalli atas Jam’ul Jawami, hal. 71-74)

Dalam kitab-kitab ushul fiqih, para ulama membedakan ruang kajian antara fiqih dan ushul fiqih. jika Fiqih lebih fokus ke hukum-hukum parsial yang diketahui melalui ijtihad

Berbicara Fiqih, berarti tidak lepas dari pembahasan hukum Islam. Menurut Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M), salah seorang ulama pakar ushul fiqh dari Mesir, dalam sejarahnya, fiqih terbagi menjadi tiga periode. (lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 15-16)

Periode pertama adalah pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Pada dasarnya, hukum atas suatu perbuatan sudah terbentuk sejak zaman Rasulullah, sejak pertama kali Islam itu hadir; karena Islam sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah, akhlak, dan hukum atas perbuatan manusia. Pada periode ini, Rasulullah lah yang menjadi satu-satunya rujukan fatwa umat Islam. Hukum-hukum fiqih saat itu terdiri hari hukum Allah dan rasul-Nya dengan acuan Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Jadi, tidak mungkin terjadi selisih pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada satu pemegang otoritas hukum, yaitu Rasulullah saw.

Periode berikutnya (kedua) adalah pada masa sahabat Nabi. Rasulullah sudah tidak ada. Bagaimanapun, problematika sosial akan terus berkembang dan, tentu, hukum Islam tidak bisa lepas dari hal ini. Pada periode ini banyak persoalan-persoalan agama muncul yang tidak ditemui pada saat Nabi hidup hidup.

Otomatis, para sahabat melakukan ijtihad, memutuskan perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at, dengan tetap mengacu pada hukum periode pertama. Sehingga produk hukum pada saat itu terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada periode ini ini juga belum ada kodifikasi fiqih secara khusus.

Periode ketiga, yaitu periode tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid (abad kedua dan ketiga Hijriyah). Pada periode ini bukan hanya periodisasi yang menjadi faktor perkembangan hukum fiqih semakin kompleks, tetapi juga karena semakin luasnya kekuasaan Islam dan banyaknya pemeluk Islam dari penjuru dunia dengan pluralitas sosio kultur dan geografis.

Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim, terutama para imam mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas semua peristiwa yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru bagi mereka. Ketetapan hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode ini.

Pada periode ketiga ini, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan rasul-Nya, fatwa dan putusan para sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para imam mujtahid.

Barulah pada periode ini terjadi kodifikasi hukum Islam yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur (w. 775 M) (khalifah kedua Bani Abbasiyah). Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa para sahabat, tabi’in, serta tabi’ tabi’in yang valid (sahih) menurut Imam Malik. Kitab ini dijadikan landasan hukum fiqih oleh penduduk Hijaz.

Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798 M), pengikut mazhab Imam Abu Hanifah (w. 797 M), menyusun beberapa kitab fiqih yang kemudian menjadi rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (w. 189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu Hanifah, menyusun kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh Imam Syamsul A’immah al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth, yang menjadi rujukan fiqih mazhab Hanafi.

Setelah itu disusul oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’ (w. 820 M) atau yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis kitab fiqih yang diberi judul Al-Umm di Mseir. Kitab ini menjadi pijakan dalam fikih mazhab Syafi’i.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.