Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Manaqib dan Sejarah Perjuangan KR. Asmorosufi

Manaqib dan Sejarah Perjuangan KR. Asmorosufi
Manaqib dan Sejarah Perjuangan KR. Asmorosufi
Makam KR. Asmorosufi di belakang Masjid Bendosari Sapuran

Sejarah Perjuangan

Bersamaan dengan proses Islamisasi di daerah Kauman dan sekitarnya, Amangkurat II yang bekerjasama dengan Couper (Belanda) bergerak menyerang Pangeran Puger (Sunan Ngalogo) di Plered. Dan ibu kota Ledok dijadikan basis pertahanan pasukan Pangeran Puger di bawah kendali Pangran Kajoran. Dalam Babad Trunojoyo-Surapati disebutkan bahwa dalam perlawanan Pangeran Puger, ia dibantu oleh orang-orang Ledok. Bahkan, wilayah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan. Dalam perlawanan itu, Raja Salinga dari Makasar juga mengerahkan 2.000 orang prajurit untuk membantu pangeran Puger. Berkat bantuan VOC, Amangkurat II berhasil menduduki Plered yang merupakan Keraton Pangeran Puger. Kemudian Pangeran Puger menyerah pada kakak kandungnya sendiri. Akhirnya, Pangeran Puger dan Amangkurat II bersepakat untuk berdamai. Amangkurat II memperbolehkan Pangeran Puger beserta pengikutnya untuk ikut ke Keraton Kartasura.

Pada saat inilah, Pangeran Puger (Pakubuwana I) mengirim Raden Sutomarto II (Kyai Asmorosufi) bin Kyai R. Sutomarto I (Kyai Asmara Gati) bin Kyai Ngabehi Mertodipuro, untuk menemui Tumenggung Wirodhuta, penguasa Kalilusi, guna menjalin persaudaran serta meminta dukungan terhadap penyebaran Islam di wilayah Kalilusi dan sekitarnya.

Pada perkembangan selanjutnya, pada kisaran tahun 1710-an, ia diambil menantu oleh Tumenggung Wirodhuto, penguasa Kalilusi untuk dinikahkan dengan putrinya yang bernama RA. Rara Kuning. Kemudian ia kembali ke Kartasura dan menjabat sebagai qadli (jaksa atau penghulu) Keraton.

Menurut Serat Wadu Aji, penghulu (daksa) merupakan pemimpin tertinggi dari jabatan keagamaan kerajaan yang memiliki tugas untuk memutuskan permasalahan yang terjadi (daksa: jêjênêng, inggih punika wadya jêksa ingkang kabêbahan angrampungi lêlêrêsaning prakawis). Termasuk pula tugas penghulu (daksa) adalah memutuskan hukuman mati, mendo’akan raja dan keluarganya, mendo’akan tentara, dan semua masyarakat agar mendapat berkah. Di samping hal-hal umum tersebut, seorang penghulu juga disyaratkan menguasai buku-buku (kitab) agama dan ahli astronomi.

Setelah beberapa tahun mengemban amanah sebagai seorang Daksa, kondisi perpolitikan di Keraton semakin memanas akibat perebutan kekuasaan, KH. R. Asmorosufi bersama dengan Pangeran Mangkubumi (w. 1792) dan ulama lainnya kemudian memilih bergabung bersama Pangeran Diponegoro untuk terjun di medan perang Sabil. Ia bergerilya dan berpindah tempat tinggal dari satu tempat ke tempat lainnya hingga akhirnya, kelak, mendirikan masjid dan pesantren di Bendosari Sapuran Wonosobo.

Pengiriman duta oleh Keraton atau bangsawan yang meninggalkan Keraton untuk berjuang melalui jalur kultural (pendidikan) merupakan bentuk khas konstruksi naratif pesantren, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh sesudahnya. Beberapa bangsawan memang tercatat mengambil gerakan ini, meninggalkan kraton, menjadi orang biasa, orang desa, dan menanggalkan gelar kebangsawanannya, babad alas, mendirikan pesantren, hingga merengkuh sebutan sebagai kyai. Untuk kategori bangsawan yang mengambil gerakan demikian, dalam Babad Jaka Tingkir disebut “den ilang kencaraning priyayi, den nganggo cara santri” (melepas baju priyayi, dan merengkuh cara santri).

Demikian pula yang disebut dalam Babad Dipanegara versi Surakarta tentang sosok Pangeran Diponegoro dilukiskan, “ilang hurmating satriya, nganggo hurmating santri” (sang pangeran melepas kehormatan sebagai seorang ksatria (bangsawan), lalu merangkul kehormatan baru tentang dirinya sebagai santri) yang bervisi anggemahaken ing desa, menyejahterakan dan memakmurkan desa.

Usai Perang Jawa, 28 Maret 1830, Kyai Asmorosufi tidak lagi berjuang secara konfrontatif terhadap penjajah Belanda, namun ia memilih untuk babad alas dan mendirikan pondok Pesantren di Dusun Bendosari Sapuran. Pesantren yang kini bernama Pondok Pesantren al-Marshuf ini, konon, merupakan pesantren tertua di Wonosobo.

Rombongan ini terdiri dari KH. Asmorosufi, KH. R. Ali Marhamah beserta isteri dan keempat putranya, yaitu KH. R. Syukur Sholeh, KH. R. Manshur, KH. R. Abdul Fattah, dan KH. R. M. Anshor. Mula-mula mereka meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Pasekan. Di desa yang sekarang masuk dalam wilayah Muntilan, Magelang ini, mereka singgah untuk beberapa waktu, lalu melanjutkan perjalanan melewati Borobudur hingga sampai di Desa Menoreh. Di sini ia bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro lainnya untuk menyusun siasat dan strategi perlawanan. Dikabarkan pula bahwa rombongan KH. R. Asmorosufi turut serta membangun sebuah Langgar (dikenal sebagai Langgar Agung Pangeran Diponegoro) yang terletak di Desa Menoreh, sebagai tempat mujahadah Pangeran Diponegoro.

Dari menoreh, perjalanan dilanjutkan ke arah Selatan. Mereka melewati Desa Salaman, Kaliabu, Wuwuharjo hingga akhirnya sampai dan menetap di tepi sungai Kudil yang sunyi dan terkenal wingit (angker) yang menjadi tempat tinggal makhluk halus dan jin-jin penggoda manusia. Kawasan ini, kelak terkenal sebagai Dusun Kramat.  Dusun Kramat, waktu itu, telah menjadi salah satu basis penyebaran agama Islam di bawah bimbingan Kyai Abdul Ghani, putra Tumenggung Kartawasesa (Mbah Lerik). Dari dusun inilah mereka pertama kali mengajarkan agama Islam di perbatasan Magelang dan Wonosobo.

Hubungan antara KH. Asmorosufi dan Kyai Abdul Ghoni kemudian dilanjutkan dengan hubungan kekeluargaan, yakni dengan menikahkan salah satu putrinya yang bernama Siti Aisyah binti Kyai Abdul Ghoni dengan KH. R. Abdul Fattah bin KH. R. Ali Marhamah bin KH. R. Asmorosufi.

Kronologi Penyebaran Islam Wonosobo

Selanjutnya dari Dusun Kramat ini, rombongan KH. R. Asmorosufi berpencar ke berbagai daerah:
  1. Rombongan KR. Asmorosufi bersama KH. R. Ali Marhamah isteri dan anaknya, R. Syukur Sholeh dan KHR. Abdul Fattah meneruskan perjalanan ke arah barat, melalui Desa Randusari, Kagungan, Kaliwuluh, Sigedong Tegalgot. Di tempat ini, salah satu anggota rombongan, yaitu KH. R. Abdul Fattah ditinggal. Sementara rombongan lainnya meneruskan perjalanan ke Dusun Mranggen (Desa Beran), belok ke utara menuju Desa Surojoyo, kemudian belok ke barat melaui desa Talunombo, Dusun Bambusari dan akhirnya mukim dan wafat di Dusun Bendosari Sapuran. Dari Kyai Asmorosufi pengembangan Islam diteruskan oleh putranya, KH. R. Ali Markhamah (w. 1750 M). Kyai Ali Marhamah ini pernah menikah dengan Nyai Gentong, putri KH. Ahmad Alim Bulus, namun pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Setelah itu, Nyai Gentong menikah dengan Kyai Khasanadi Munggang, dan dikaruniai dua anak, yaitu Nyai Murdakoh dan Nyai Pencil Kertek. Setelah Kyai Ali Marhamah wafat, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya, yang bernama KH. R. Syukur Shaleh (w. 1775 M).
  2. KH. R. Manshur menuju Kauman Wonosobo. Beliau mendirikan sebuah pondok pesantren dan mendirikan masjid besar di Kauman pada tahun 1838 M sebagai pusat pengembangan agama Islam. KH. R. Manshur dijadikan anak menantu oleh Sayyid Ali bin Hasyim Ba’abud Kauman Wonosobo (yang telah datang ke Wonosobo pada tahun 1700 M). KH. R. Manshur dinikahkan dengan Syarifah Khatijah binti Sayyid Ali bin Hasyim. Salah satu dari putri pasangan ini kelak menjadi menantu KH. Shalih bin Umar (Kyai Shaleh Darat) Semarang, salah satu santri Mbah Ahmad Alim. KH. R. Manshur juga menikah dengan putri KH. Murdoko, penghulu landraad (Pengadilan Negeri) Wonosobo dan seorang pengembang Islam di Desa Krakal Wonosobo pada tahun 1800 M/ 1299 H.
  3. KH. R. Abdul Fattah yang memulai babad alas di Sigedong Tegalgot Kepil. Beliau mumbuka lahan yang dikenal sebagai kawasan dan pusat “kerajaan jin” itu untuk didirikan pemukiman dan pondok pesantren pada tahun 1831 M, dibantu oleh Glondong R. Surowikromo yang kemudian dijadikan sebagai besannya. Haul KHR. Abdul Fattah diperingati setiap tanggal 21 Rajab didahului dengan acara simakan al-Qur’an dari para hafidz-hafidzah selama dua hari. Pondok ini kemudian menjadi pusat kaderisasi para ulama yang disebar ke berbagai penjuru wilayah. Termasuk juga putra-putri KH. R. Abdul Fattah disebar ke berbagai tempat, antara lain, KH.R. Mustofa di Wonosobo, K.R. Muhammad Fadhil di Wadaslintang, K.R. Djazuli di Kaliwiro, K. R. Yusron di Loano, Ny. R. A. Muhammad Mufid di Gemawang Sapuran, Ny. R.A. Ali Ibrahim di Kragan Margoyoso, Ny. R. A. Abdul Kadir di Kuwaraan Kajoran, Ny. R. A. Ngalwi di Situgu Kajoran, Ny. R. A. Abdul Manan di Kedu Temanggung, Ny. R. A. Burhan di Wonosobo, Ny. R. A. Kustonjiyah di Kalisuren Kertek, Ny. R. A. Badaruddin di Kadirejo Solo, dan Ny. R. A. Abdul Chanan di Ngalian Wadaslintang.
  4. KH. R. Anshar meneruskan pengembaraan dakwahnya sampai di Desa Leksono Wonosobo. Ia menyebarkan agama Islam di tempat ini hingga wafatnya.
  5. KH. R. Murdoko mengembangkan Islam di Desa Krakal Kertek Wonosobo. Kyai Murdoko ini menikah dengan Nyai Murdaqah, putri Nyai Khasanadi (Nyai Gentong) binti Ahmad Alim.

Sementara Ahmad Muzan (2009) menyebutkan versi yang sedikit berbeda. Dikatakannya bahwa rombongan keluarga tersebut datang ke Wonosobo ketika Perang Jawa hampir usai, tepatnya tahun 1829 M, KH. R. Asmorosufi beserta rombongan meninggalkan Keraton Ngayojokarto Hadiningrat setelah terjadinya perselisihan antara Pangeran Diponegoro (1785-1855 M) dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi yang menyerah pada Belanda. Rombongan ini sempat mukim di Pasekan, Muntilan, Magelang, sebelum akhirnya bergerilya ke arah barat hingga sampai di Sigedong Baturono.

Bukti Peninggalan

Pendapat mengenai keberadaan KH. R. Asmorosufi dan keturunannya ini diperkuat dengan beberapa bukti peninggalan:
  1. Makam KH. R. Abdul Fattah terletak di sebelah barat Masjid Sigedong, demikian pula masjid dan bekas komplek pondok peninggalan beliau;
    Makam KH. R. Abdul Fattah  terletak di sebelah barat Masjid Sigedong, demikian pula masjid dan bekas komplek pondok peninggalan beliau
    Masjid Sigedong

    Makam KH. R. Abdul Fattah
    Makam KH. R. Abdul Fattah

  2. Terdapat kitab Fath al-Mu’în, karangan Syekh Abdul Azîz bin Abdurrahmân al-Mâlibarî dalam bentuk tulisan tangan yang diduga kuat adalah salinan tangan Kyai Abdul Fattah ;
  3. Makam KH. R. Asmorosufi dan KH. R. Ali Marhamah beserta keluarga terletak di sebelah barat Masjid Bendosari Sapuran, demikian juga masjid dan pondok peninggalannya masih ada;
    Makam KH. R. Asmorosufi dan KH. R. Ali Marhamah beserta keluarga terletak di sebelah barat Masjid Bendosari Sapuran

    Makam KH. R. Asmorosufi dan KH. R. Ali Marhamah beserta keluarga terletak di sebelah barat Masjid Bendosari Sapuran

  4. Banyaknya keturunan KH. R. Asmorosufi yang masih mukim di Wonosobo dan menjadi tokoh-tokoh agama;
  5. Makam KH. R. Manshur terletak di kompleks Masjid al-Manshur Kauman;
    Makam KH. R. Manshur terletak di kompleks Masjid al-Manshur Kauman

    Makam Kyai Walik Belakang masjid Al-Mansyur Wonosobo

  6. Terdapat salinan kitab al-Minhâj al-Qawîm bi Syarh Masâil al-Ta’lîm (al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fî al-Fiqh al-Syâfi’î), karangan Ibn Hajar al-Haitami yang diduga kuat sebagai tulisan tangan KH. R. Manshur, penghulu landraad Wonosobo yang berangka tahun 1265 H;
  7. Terdapat salinan kitab Tafsîr Jalalian, karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli, tulisan tangan Ibnu Marhamah (putra KH. Ali Marhamah), yang di dalamnya terdapat tanggal 12 Maulud 1242 H.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Manaqib dan Sejarah Perjuangan KR. Asmorosufi, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.