Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

 Kiai Zubair Umar al-Jailani lahir di Bojonegoro tahun 1908. Pernah nyantri di Termas Pacitan, Simbang Kulon Pekalongan, hingga Tebuireng Jombang. Saat mondok di Tebuireng inilah Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari menjodohkannya dengan putri seorang sahabat di Salatiga.


Setelah itu lanjut ngaji ke Hijaz, Syam, hingga berakhir di Al-Azhar, Kairo. Bersama sang istri. Di sana beliau sempat menjadi pengajar ilmu falak. Sangkin alimnya, saat mengajar beliau tidak memakai kitab acuan. Justru catatan-catatan murid-muridnya atas kajian beliau selama di kelas kemudian dikumpulkan, lalu disusun menjadi kitab berjudul Al-Khulashah al-Wafiyyah, yang merupakan rujukan ilmu falak hingga hari ini.


Setelah pulang ke Tanah Air, beliau aktif di NU, pengadilan agama, juga pernah menjabat rektor IAIN Walisongo Semarang. Beliau wafat tahun 1990 dan dimakamkan di Kauman, Salatiga. Delapan tahun setelah wafat, terjadi banjir besar yang merusak area pemakaman, termasuk makam beliau. Saat itu nampak jasad dan kafan beliau masih utuh, bersih.

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)


Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD)

*Sumber: Zia Ul Haq @ziatuwel

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Kumpulan Foto KH. Zubair Umar Jailani, Ahli Falak dari Salatiga (HD), jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.