Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Tradisi Sesaji Kepala Kerbau dan Dakwah yang Belum Selesai

Tradisi Sesaji Kepala Kerbau dan Dakwah yang Belum Selesai
Beberapa waktu yang lalu, beredar kabar ritual sesaji tanam kepala kerbau sebagai titik awal dimulainya proyek NYIA (New Yogyakarta International Airport) di Kulonprogo. Saya nggak pengen membahas panjang lebar soal syiriknya, pun reaksi atasnya. Toh dulu mobil Esemka, mobil yang cuma kelihatan beritanya lima tahun sekali itu, dijamasi air kembang tujuh rupa pas Jokowi mau nyapres.

Tradisi Sesaji Kepala Kerbau dan Dakwah yang Belum Selesai

Saya cuma mau ngasih tau, bahwa ritual sesaji kepala kerbau ini adalah proses pergeseran dan hasil dakwah panjang yang dilakukan oleh Kyai Handoko Kusumo, seorang ulama generasi kedua setelah Sunan Kalijaga. Tapi oleh masyarakat lereng Merapi, beliau lebih dikenal dengan nama: Mbah Petruk.

Apa yang digeser? kurbannya. Sebelum kerbau, yang dijadikan sesaji adalah manusia. Sinkretisme antara 'agama' Kapitayan dengan Bhaiwara Tantra pada masa itu diduga kuat sebagai penyebabnya.

Katanya dakwah, lho kok masih jalan ritual sesajinya? Hakikat proses dakwah memang umumnya berangsur-angsur.

Tapi bagi saya, pelajaran penting yang bisa diambil adalah: Suksesi dakwah itu penting. Dakwah harus terus berjalan. Suksesi dakwah yang dilakukan oleh Mbah Petruk, bisa jadi belum selesai, dan tidak terkomunikasikan dengan baik kepada penerusnya. Entah karena orangnya tidak ada, atau memang tidak tersampaikan.
Tradisi Sesaji Kepala Kerbau dan Dakwah yang Belum Selesai

Cilakanya, model dakwah yang sebetulnya sudah terbangun alurnya, semacam 'dirusak' oleh model dakwah baru yang memiliki pendekatan berbeda. Yang tadinya "Oh, jangan kurban pakai manusia. kerbau saja."

Lalu alur berikutnya-mungkin saja, ini interpretasi saya pribadi- "Kurban kerbau kok eman-eman ya. Disembelih sajalah, dagingnya dimasak, syukuran makan-makan, sambil berdzikir pada Allah." (dan imho ini jalan kok di beberapa daerah Bantul selatan).

Ujug-ujug pendekatannya menjadi, "Kurban kerbau itu syirik, primitif dan terlaknat!"

Masyarakat kaget? wajar.

Antipati? manusiawi.

Blok-blokan, kejawen vs wahabi? ya itu implikasinya.

Bagi saya, ini -lagi-lagi- menjadi contoh pentingnya suksesi dakwah. Ibarat presiden SBY bikin proyek infrastruktur panjang, ya harus dikomunikasikan pada presiden berikutnya untuk diselesaikan. Jangan sampai semisal, SBY bikin pondasi bendungan, pas zaman Jokowi, dibilang "Apaan ini, cor-coran ngalangin sungai. Merusak alam. hancurkan!".

Untungnya nggak gitu. Jokowi selesaikan proyek yang dimulai lima bahkan sepuluh tahun sebelumnya. Maka tidaklah bijak ketika ada yang mengatakan, "Zaman Jokowi, infrastruktur ini dan itu dibangun. Presiden sebelumnya ngapain aja?"

Setidak bijak ucapan, "Dakwahnya walisongo itu keliru, makanya sekarang masyarakat Jawa ini banyak syiriknya. Gara-gara itu, sekarang kita harus kerja keras memurnikan kembali umat ini dengan dakwah sunnah."

Ada yang bilang gitu? Adaa...

Padahal, kemudahan dakwah yang kita dapatkan saat ini, adalah hasil dari proses dakwah yang telah dijalani dengan kerja keras oleh berpuluh generasi sebelumnya. Bagi saya, menyalahkan dakwah generasi lama hanyalah bentuk kegagalan menangkap konten dan momem suksesi dakwah itu sendiri.

Jadi, mari kita teruskan dakwah, dengan melanjutkan pondasi yang telah dibangun generasi sebelum kita, alih-alih menghancurkan dan mbangun ulang, hanya gara-gara keliatan 'nggak sesuai'.

*Penulis adalah kreator komik "Misteri Mbah Petruk", salah satu dari kompilasi Kisah Teladan dalam Liqomik 2. Bagi yang ingin memesan komik tersebut, silakan hubungi nomor berikut; 0877-3464-3028

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Tradisi Sesaji Kepala Kerbau dan Dakwah yang Belum Selesai, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.