Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Evolusi Pesantren: Dari Salafiyah, Modern, Hingga Vokasional

Evolusi Pesantren: Dari Salafiyah, Modern, Hingga Vokasional
Sebagai fans dan pengamat pesantren amatiran, saya melihat ada perkembangan yang cukup unik dalam bentuk lembaga pendidikan ini. Perrkembangan yang tentu saja dipengaruhi perkembangan zaman serta kesadaran akan kebutuhan manusia. Tahap perkembangan model pesantren ini saya bagi menjadi tiga era.
Evolusi Pesantren: Dari Salafiyah, Modern, Hingga Vokasional

Era pertama: Pesantren Salafiyah

Para kiai sekedar menggelar pengajian di surau-surau bagi santri setempat. Lalu berkembang menjadi pemondokan, santri jauh menginap di rumah kiai atau di bilik-bilik khusus yang dibangun belakangan. Santri mengaji di bawah asuhan kiai secara langsung, dengan mempelajari kitab-kitab ilmu syariat an sich.

Selain mengaji kitab, para santri juga berkehidupan secara komunal di pondok, berkegiatan selayaknya kehidupan berumah tangga sehari-hari secara mandiri. Mulai dari masak, mencuci, bahkan beternak dan berladang. Ciri khas ini masih bisa dilihat bekasnya di pesantren-pesantren yang mempertahankan model salafiyyah. Ambil contoh Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Cidahu di Banten, atau Dayah Mudi Mesra di Samalanga.

Karakter keilmuan di era salafiyyah ini adalah penguasaan ilmu agama secara mendalam, asah spiritualitas, disertai bekal kemasyarakatan secara praktis. Masalah yang muncul dalam model tradisional ini adalah ketidakcakapan santri terhadap kehidupan duniawi yang terus berkembang pesat.

Era kedua: Pesantren Modern

Pasca masa kemerdekaan, beberapa tokoh kiai membuka diri atas masuknya ilmu-ilmu non-syariat di lingkungan pesantren. Tentu dorongan utamanya adalah agar menjadi kompetitor terhadap dunia non-pesantren di ranah global. Sehingga muncullah model-model pesantren modern dengan ciri khas; ada sekolahan di tengah pesantren.

Sekolahan yang dimaksud di sini adalah lembaga-lembaga pendidikan formal dengan kurikulum tertentu, dengan model sekolah peninggalan era kolonial. Model pesantren semacam ini sudah mulai merata dimana-mana. Pionir model ini bisa kita sebut Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Pesantren Krapyak di Yogyakarta, atau Pesantren Al-Khairat di Palu.

Adanya kekhawatiran pesantren ketinggalan zaman dan ditinggalkan masyarakat jika tidak bikin sekolahan seakan sudah menjadi momok wajar di lingkungan kiai-santri saat ini. Tentu hal ini musti dimaklumi sebagai tuntutan zaman. Belakangan, pesantren-pesantren modern juga menyediakan fasilitas-fasilitas 'pembantu' keseharian santri, semisal binatu dan katering.

Karakter keilmuan di era pesantren modern adalah perpaduan antara penguasaan ilmu-ilmu agama sekaligus memiliki gelar-gelar akademik kesarjanaan. Masalah yang muncul pada model modern ini adalah berkurangnya kadar pendalaman ilmu-ilmu syariat. Serta masalah mendasar yang juga dialami lembaga persekolahan sekuler, yakni ketidakjelasan arah pembelajaran dan keribetan administratif yang tak perlu. Adanya fasilitas pembantu juga menimbulkan masalah baru, yakni ketidakmandirian santri dan tentu saja; mahal.

Era ketiga: Pesantren Vokasional

Jika kita maknai pesantren sebagai lingkungan belajar berbasis keislaman sehari semalam, maka saat ini muncul model baru lembaga pendidikan ala pesantren. Yakni pesantren vokasional, di mana santri tidak lagi diarahkan untuk menguasai ilmu-ilmu umum ala sekolahan ataupun menyabet gelar-gelar akademik. Di pesantren ini, santri belajar mengasah keterampilan riil yang dibutuhkan di masyarakat sesuai dengan keminatannya.

Sebagai contoh, bisa kita sebut Pesantren Pertanian di Garut asuhan Kiai Ibang Lukman. Di mana santri mengaji bagaimana berdaulat pangan dengan mengelola lahan secara mandiri dan organik. Ada juga Pesantren Sintesa di Magetan asuhan Gus Ibrahim Fatih. Di mana santri didampingi belajar keahlian teknologi informasi sampai taraf mahir dan menghasilkan secara finansial. Ada pula Pesantren Batik di Bantul asuhan Kang Abdul Syukur, di mana ia menularkan pengetahuan dan keahlian membatiknya kapada para santri yang mengaji di sana.

Memang di pesantren vokasional ini tujuan pembelajaran utamanya bukanlah pendalaman ilmu agama atau tafaqquh. Ilmu-ilmu agama yang dipelajari di pesantren model vokasional ini 'hanyalah' ilmu-ilmu tingkat dasar -atau paling pol menengah- yang perlu dipelajari santri sebagai orang Islam. Sebab fokus pesantren model ini adalah pelatihan keterampilan atau keahlian tertentu.

Kalau boleh memprediksi, agaknya pesantren-pesantren model vokasional ini akan banyak menjamur dalam satu-dua dasawarsa ke depan. Dan akan banyak diminati masyarakat. Seiring dengan mentasnya para santri atau gus yang memiliki spesialisasi keterampilan dalam bidang-bidang tertentu.

Masalah yang akan dihadapi model ini adalah perihal keabsahan sanad ilmu-ilmu syariat yang diajarkan. Karena masih membawa nama sakti 'pesantren', maka para pengasuh pesantren vokasional harus tetap menjaga keberkahan rantai ilmu syariat yang diajarkan di dalamnya.
Mari kita terus pantau perkembangan ketiga model pesantren ini. Tiga model ini juga akan menjadi bahan kebingungan para orang tua milenial yang kritis. Terutama bagi mereka yang belum pernah mondok tapi ingin anaknya masuk pesantren. Nah, bagaimana pandangan Anda?

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Evolusi Pesantren: Dari Salafiyah, Modern, Hingga Vokasional, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.