Bergabunglah di Grup WhatsApp PTS, ikuti Program Tadarus setiap periode 15 hari DISINI
{{ date }}
{{ time }}
Sudah SHOLAT kah Anda?

Sejarah Berdirinya NU di Wonosobo, Habib Ibrahim Ba'abud

Sejarah Berdirinya NU di Wonosobo, Habib Ibrahim Ba'abud
Sejarah Berdirinya NU di Wonosobo, Habib Ibrahim Ba'abud

Biografi Habib Ibrahim Ba'bud

Sayyid Ibrahim bernama asli Ibrahim bin Ali bin Hasyim Ba'abud. Jika diurut ke atas maka beliau adalah termasuk dari kalangan ahlul bait (keluarga Rasulullah Saw.) yang bermarga Ba'bud Kharbasan.

Terlahir pada tahun 1864 M dari pasangan Habib Ali bin Hasyim dengan Syarifah Khadijah di Kauman Wonosobo. Gelar Sayyid diberikan kepada beliau setelah masyarakat mengetahui kealimannya serta termasuk dalam jajaran ahlul bait. Dilahirkan sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, yang semenjak kecil telah mendapat pendidikan ilmu agama dari orangtuanya seperti ilmu al-Quran, fiqh, tauhid dan tasawuf.

Pada masa itu belum banyak dikenal model pendidikan yang lazim dilaksanakan saat ini. Model pendidikan yang dilaksanakan menggunakan system individual dengan cara sorogan sebagaimana dikenal di lembaga pendidikan Pesantren.

Disamping mendapatkan ilmu agama dari orangtuanya sendiri dan juga para ulama Wonosobo, beliau juga belajar kepada guru dan sekaligus sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Bin Thalib Alattas Pekalongan. Hal ini diketahui setiap beliau pergi ke daerah Pekalongan senantiasa 'didereake' oleh KH. Hasbullah Bumen dengan berjalan menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang akan dihadiahkan kepada guru sekaligus sahabatnya itu. Di Pekalongan itu ia juga berguru kepada Habib Hasyim bin Yahya, kakek dari Rais Aam Jam'iyyah Ahlu ath-Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya.

Berbekal ilmu yang telah didapatkan dari para gurunya, Sayyid Ibrahim kemudian mengajarkannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Beliau juga seorang saudagar yang sangat terkenal dan mempunyai banyak sawah dan tanah yang kemudian dijadikannya tempat mendirikan masjid dan pendidikan. Kesempatan berdagang itu pula digunakannya untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengenalkan NU lewat jalur thariqah yang didapatkan dari ayahnya, Thariqah Alawiyyah.

Pendiri NU Cabang Wonosobo

Semenjak awal berdirinya 31 Januari 1926, NU kemudian melalui para ulama yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah mendirikan berbagai cabang di daerah-daerah sebagai perpanjangan dari HBNO (PBNU) yang berada di Surabaya. Melalui Lajnah Nasihin (Lembaga Propaganda) yang dibentuk oleh HBNO, para Ulama yang tergabung di dalamnya mensosialisasikan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah Hindia-Belanda (baca: Indonesia). Diantaranya ke Jawa Tengah, Jawa Barat hingga daerah Menes Banten, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh. Propaganda itu pada gilirannya sampai ke Wonosobo, berkat ikatan persaudaraan yang telah dijalin oleh para ulama masa dulu.

Kehadiran NU di Wonosobo yang diprakarsai oleh para kyai diantaranya Sayyid Ibrahim Kauman, KH. Hasbullah Bumen, KH. Abdullah Mawardi, Kyai Abu Jamroh, KH. Asy'ari Kalibeber, Sayyid Muhsin Kauman, dan beberapa tokoh yang lain seperti Atmodimejo, Supadmo, Abubakar Assegaf disambut dengan mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama Cabang Wonosobo. Hal itu ditandai dengan pembentukan kepengurusan NU Cabang Wonosobo dengan Rais Syuriah pertamanya Sayyid Ibrahim dengan dibantu Sayyid Muhsin bin Ibrahim sebagai Katibnya. Sedangkan dalam jajaran Tanfidziyah ditunjuklah Atmodimejo sebagai ketua dan Abubakar Assegaf sebagai sekretaris.

Belum ditemukan dokumen yang jelas tentang tanggal berdirinya NU di Wonosobo secara pasti, hanya beberapa keterangan yang perlu dikedepankan. Diantaranya; Pertama, menurut Mbah Muntaha NU Wonosobo diresmikan setelah Muktamar NU di Cirebon pada tanggal 29 Agustus 1931. Keterangan ini didukung oleh H. Salim Mukhtar, mantan Ketua Tanfidziyah NU.

Kedua, terdapat arsip Kartu Tanda Anggota NU (Kartanu) yang diberi nama Rosyidul Udhwiyah atas nama Bapak Saidun Desa Kreo Kejajar, yang ditandatangani oleh Sayyid Ibrahim dan Sayyid Muhsin sudah bernomer 1526 pada tahun 1353 H, sebagai indikasi telah banyaknya warga yang mengikuti Jam'iyah Nahdlatul Ulama.

Ketiga, terdapat keterangan dari para sesepuh NU bahwa pada saat pelantikan NU Cabang Wonosobo dilaksanakan di rumah Sayyid Ibrahim dan dihadiri oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai HBNO. Sedangkan sebagai pembaca al-Quran pada acara itu adalah KH. Muntaha al-Hafidz (Mbah Muntaha).

Kepiawaian dari para pendahulu NU Wonosobo, terutama Sayyid Ibrahim, yang tanpa lelah memperjuangkan NU di tengah-tengah masyarakat pada gilirannya membuahkan hasil secara nyata. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya masyarakat yang dengan suka rela menjadi anggota jam'iyah ini, serta gerakan-gerakan lainya yang mendukung program Jam'iyah NU.

Dalam proses sosialisasi NU dan dakwah Islamiyah, beliau senantiasa ditemani salah seorang putranya yaitu Muhsin yang kelak menjadi Katib Syuriah. Semasa remaja Muhsin, setelah mendapatkan ilmu agama dari ayahnya, ia nyantri di Pondok Pesantren Tremas Pacitan. Sekembalinya dari Tremas beliau melanjutkan studinya ke para ulama di Haramain, khususnya Mekkah.

Namun takdir berkata lain, ketika terjadi pengusiran besar-besaran di Arab Saudi terhadap golongan Muslim Sunni yang dianggap bertentangan dengan kaum Wahabi, gurunya berpesan agar beliau kembali ke Indonesia demi menyalamatkan agama dan ilmunya. Dan akhirnya Sayyid Muhsin menetap di Wonosobo berkhidmah kepada Nahdlatul Ulama.

Sebagai Katib Syuriah, Sayyid Muhsin bertugas membantu tugas dari ayahnya selaku Rais Syuriah. Pada awal dibentuknya NU di Wonosobo beliaulah yang memprakarsai pembuatan gedung NU. Sampai sekarang gedung tersebut masih ditempati sebagai perjuangan NU sekaligus dijadikan tempat untuk pembinaan generasi muda NU dengan mendirikan sekolah Arab (Madrasah). Hal ini dimaksudkan untuk ajang kaderiasi dan juga penanaman nilai-nilai Ahlussunanh wal Jama'ah semenjak dini. Muhsin adalah anak tertua dari delapan saudaranya dari istri pertama Sayyid Ibrahim. Sebagaimana diketahui bahwa Sayyid Ibrahim mempunyai dua puluh orang anak dari tiga orang istri. Tapi bukan poligami, melainkan karena istri sebelumnya telah wafat.

Dalam kapasitasnya sebagai Rais Syuriyah NU Wonosobo, Sayyid Ibrahim juga didaulat oleh gurunya untuk menjadi Khalifah (pemimpin) Thariqah Syathariyah, selain juga beliau pengamal Thariqah Alawiyyah. Melalui jalur thariqah inilah beliau mengembangkan agama Islam di daerah Wonosobo dan sekitarnya serta mengenalkan dan mengajak masyarakat untuk bergabung dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama. Para muridnya tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Wonosobo, Temanggung (seperti Sukorejo dan Ngadirejo), Kendal, Batang, Banjarnegara dan Purworejo.

Sadar akan pentingnya kaderisasi dan kepemimpinan, menjelang usia senjanya pada tahun 1940, beliau meletakkan jabatannya sebagai Rais Syuriah Cabang Wonosobo. Melalui musyawarah yang diadakan oleh Pengurus Cabang saat itu, ditunjuklah Kyai Abu Jamroh sebagai pengganti Sayyid Ibrahim.

Meski fisik tak muda lagi, Sayyid Ibrahim tetap gigih berjuang di Nahdlatul Ulama dan berjuang demi kemerdekaan Indonesia dari penjajah. Beliau rela mengorbankan jiwa, raga dan hartanya demi melaksanakan perjuangan mulia tersebut. Sehingga beliau pun seringkali berpindah-pindah tempat ke tempat lainnya.

Ketika suasana Indonesia telah semakin mereda, dengan kekalahan penjajah Belanda, Sayyid Ibrahim kemudian kembali ke daerah Kauman Wonosobo dan menetap di sana hingga wafatnya pada bulan Sya'ban tahun 1948. Jenazahnya lalu dimakamkan di makam keluarga Maron (belakang kampung Longkrang) Wonosobo. Haulnya dilaksanakan setiap tahun pada Minggu awal bulan Sya'ban.

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum, Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Sejarah Berdirinya NU di Wonosobo, Habib Ibrahim Ba'abud, jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.

Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.