Indahnya Kelahiran Sang Nabi Dalam Untaian Puisi
Syair-Syair ahli dzauq (orang-orang yang memiliki hubungan
Perasaan dengan Allah) Ahsan dibaca untuk mengguncangkan kerinduan pada
sebaik-baik kekasih Sejati (Rosulullah SAW). Mereka Merekalah itu yang sebenarnya
adalah sebaik-baik teman” Wallahu Alamu.
Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk sekedar
menggambarkan keluhuran budinya, dan dengan segala keterbatasan para
ulama-ulama pecintanya merangkum saat-saat kelahiran dan akhlaknya dalam suatu
Untaian puisi yang indah.Terutama Ketika bulan Maulid telah tiba. Seluruh dunia
pun maka menyambutnya dengan Gegap gempita. Ada yang menggelar pengajian, ada
yang menyelenggarakan selamatan dan tumpengan. Bahkan ada yang menggelar
prosesi besar-besaran dan selama hampir sebulan, seperti juga tradisi Grebeg
Maulud di Keraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan juga dan
Kasultanan Cirebon.
Semuanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas
kelahiran utusan-Nya, Rosulallah Muhammad SAW. Dari berbagai tradisi merayakan
kelahiran Rasulullah SAW tersebut, ada sebuah ritual yang nyaris seragam di
semua tempat, yakni pembacaan kisah kelahiran Sang Nabi SAW. Berbeda dengan
sirah (biografi) dan juga tarikh (sejarah) karya sejarawan, kisah-kisah kelahiran
Nabi yang dikenal dengan nama Maulid – atau dalam budaya Betawi disebut Rawi –
itu berupa puisi panjang yang digubah oleh sekalian para ulama ulama besar yang
juga ahli syair.
Ada beragam jenis Maulid. Ada yang digubahnya dalam
lirik-lirik qashidah murni yang indah, seperti Maulid Burdah, oleh Imam
Muhammad Al-Bushiri, Maulid Syaraful Anam. Ada pula yang mana bercorak
prosa lirik yang dipadu qashidah, seperti Maulid Ad-Diba’i, karya
Al-Imam Abdurrahman bin Ali Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zubaidi; Maulid Azabi,
karya Syaikh Muhammad Al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf
Al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain
Al-Habsyi; dan yang paling mutakhir Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya
Al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut. Ada pula ulama pujangga yang mana menyusun
dua Maulid dalam dua model berbeda, seperti Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul
Karim Al-Barzanji al-Madani, penyusun Maulid Barzanji. Maulid karya khatib
Masjid Nabawi (Madinah) yang wafat pada 1177 H/1763 M itu disusun dalam dua
model: Natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab dengan 355 bait,
dan Nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205 bait. Meski dengan
Pola/corak penyusunan beragam, setiap karya Maulid memiliki kesamaan:
mengandung keunikan dalam gaya dan irama yang khas, serta penuh metafora dan
simbol. Dalam kajian sastra Arab, keunikan itu disebut Al-Madaih al-Nabawiyah,
puisi-puisi sanjungan kenabian.
Meski isinya sering kali disalah pahami oleh segelintir Oknum
Dari komplotan Nashiby Sawah, yakni kalangan penentang Maulid sebagai
kemusyrikan, metafora dan simbol dalam Maulid justru merupakan kekuatan dalam memunculkan
kerinduan Kerinduan dan bahkan kecintaan umat pembaca kepada Nabi junjungannya.
Meski tak sama persis, ada kesamaan lain dari Maulid-maulid tersebut. Yakni
dalam pembagian kisah yang biasanya terdiri dari kisah penciptaan Nabi Muhammad
SAW, dan kisah kehamilan ibunda sang Nabi, berbagai keajaiban menjelang
kelahiran beliau, sosok dan kepribadian Rasulullah SAW, serta kiprah sejarah
dakwah beliau.
Beberapa Maulid juga menambahkan bagian-bagian yang tidak
ada pada Maulid lainnya sebagai kekhasan. Yakni misalnya pencantuman silsilah
Rasulullah SAW hingga Nabi Ibrahim AS dalam maulid Barzanji, atau pengutipan hadits-hadits
tentang Nur Muhammad dalam Simthud Durar, dan tentang keutamaan Rasulullah dan
umatnya di dalam Ad-Diba’i. Sebagai bagian dari karya sastra, dan juga penambahan-panambahan
itu pun dirangkai dalam kalimat kalimat indah yang bersajak. Tengok, misalnya,
pohon silsilah Nabi yang mana dirangkai oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji dalam
Untaian Maulid-nya yang berjudul asli Qishshah al-Maulid an-Nabawi (Kisah
Kelahiran Nabi)
“Wa ba’du kukatakan bahwa junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beliau adalah putra Abdullah, putra Abdul Muthalib, yang nama aslinya ialah
Syaibatul Hamd, karena budi pekertinya yang sangat terpuji (Abdul Muthalib)
adalah putra Hasyim, yang nama aslinya Amr, putra Abdu Manaf, yang nama aslinya
Al-Mughirah, yang telah berhasil mencapai kedudukan yang sangat tinggi…”
Lebih indah lagi bab nasab itu ditutup dengan serangkaian
qashidah yang menawan.
Nasabun tahsibul ‘ulâ bihulâh,
qalladathâ nujûmahal jawza-u
(Inilah untaian nasab yang dengan berhias namanya menjadi
tinggi,
laksana kecemerlangan bintang Terindah di antara
bintang-bintang yang membuntuti).
Habbadzâ ‘iqdu sûdadiw wa fakhâri,
Anta fîhil yatimatul ‘ashma-u
(Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan
itu,
Dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).
Rangkaian pembacaan Maulid biasanya dibuka dengan shalawat
dan doa yang dirangkai dalam bentuk qashidah nan indah. Pembacaan Maulid Diba’
dan Barzanji misalnya selalu diawali dengan syair berikut:
Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim
Ya Rabbi balligh-hul wasîlah
Ya Rabbi khush-shah bil fadhîlah
Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi
Muhammad.
Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat dan
kesejahteraan kepadanya.
Wahai Tuhan, sampaikanlah kepadanya sebagai perantara.
Wahai Tuhan, khususkanlah kepadanya dengan keutamaan).
Sedangkan Simthud Durar dibuka dengan syair:
Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Mâ lâha fil ufuqi nûru kawkab
(Wahai Tuhan, selagi cahaya bintang gemintang masih
gemerlapan di kaki langit,
tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad).
Seluruh ungkapan dalam Maulid memang disusun dengan bahasa
sastra yang sangat tinggi. Dalam disiplin ilmu balaghah (paramasastra bahasa
Arab), penyimbolan dan metafora (tasybih) dalam Maulid sudah masuk kategori
baligh, tingkatan metafora tertinggi.
Qashidah lain yang sangat populer dan sangat baligh terdapat
dalam Maulid Barzanji,
Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fawqa nuri
(Engkaulah surya, engkaulah purnama.
(Engkau cahaya di atas cahaya)
Dalam tradisi sastra Arab syair tersebut bernilai tinggi justru
karena menghilangkan sebagian unsur kalimatnya.
Jika dilengkapi – yang berarti menurunkan kualitasnya – kalimat
tersebut bisa berbunyi…
Anta kasy-syamsi fi tanwiri qulubin nas
Anta kal badri fil taksyifi zhulamiz zamani
Anta fil anbiya-i ka nurun fawqa nuri
(Engkau laksana surya, dalam menyinari hati manusia.
Engkau laksana purnama, dalam menyingkap kegelapan masa.
Diantara para nabi, Engkau laksana cahaya di atas
cahaya).
Keindahan lain juga terkandung dalam pengisahan proses penciptaan
ruh Nabi Muhammad SAW, yang diyakini berasal dari pancaran cahaya Ilahi. Karena
itulah bentuk awal penciptaan Rasulullah disebut nur Muhammad, yang mana diciptakan
sebelum penciptaan alam semesta raya. Bahkan diceritakan oleh para ahli hikmah,
karena Muhammad-lah Allah menciptakan alam semesta ini. Syaikh Al-Barzanji melukiskannya
dengan ungkapan
Huwa akhirul anbiya-i bi shuratihi wa awwaluhum bi
ma’nah
(Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi
pertama secara maknawi).
Sedangkan Dhiya-ul Lami’ menggambarkannya berupa dialog ketika
Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau
bersabda “Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.” Masih
tentang hal yang sama, Habib Ali Al-Habsyi dalam Simthud Durar mengutip hadits
Abdur razzaq dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya,
“Demi ayah dan ibuku, yaa.. Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang
sesuatu yang pertama di ciptakan Allah sebelum yang lain.” Maka jawab
Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu,
Muhammad, dari nur-Nya sebelum menciptakan sesuatu yang lain.” Penggambaran
tentang penciptaan nur Muhammad ini dengan indah dilukiskan oleh kakek (alm.)
Habib Anis, Solo, dengan ungkapan, khas beliau “Pecahlah ‘telur’ yakni
penciptaan-Nya di alam mutlak yang tak berbatas ini. Menyingkap keindahan yang
bisa disaksikan pandangan mata, mencakup segala kesempurnaan sifat keindahan
dan keelokan. Dan berpindah-pindahlah ia dengan segala keberkahan, dalam
sulbi-sulbi (punggung) dan rahim-rahim yang mulia. Tiada satu sulbi pun yang menyimpannya,
kecuali beroleh nikmat Allah nan sempurna.”
Sementara Maulid Diba’ menggambarkan dengan lebih mendetail melalui
periwayatan Sayyidina Abdullah bin Abbas RA. Dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang mana ketika itu masih berwujud
cahaya (nur) di hadapan Allah, Yang Maha Perkasa dan Maha Agung, dua ribu tahun
sebelum penciptaan Nabi Adam AS, yang selalu bertasbih kepada Allah. Dan
bersamaan dengan tasbihnya, bertasbih pula para malaikat mengikutinya.” Ketika
Allah akan menciptakan Adam, nur itu pun diletakkan di tanah liat asal kejadian
Adam. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkannya kebumi melalui punggung Nabi Adam
dan Allah membawanya ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh dan
menjadikannya dalam tulang sulbi sang Kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia
dilemparkan ke dalam api. maka Tak henti-hentinya Allah, Yang Maha Perkasa dan Maha
Agung, memindahkannya dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang
suci dan megah, hingga akhirnya Allah melahirkannya melalui kedua orangtuanya yang
mana sama sekali tidak pernah berbuat serong.”
Setiap tahapan penciptaan dan kelahiran Rasulullah memang
sarat dengan keajaiban dan juga keluarbiasaan. Ketika Nabi masih dalam
kandungan ibundanya, Aminah, Syaikh Ja’far Al-Barzanji melukiskan kesuburan
yang mendadak mewarnai sekitar kota Mekah, dan hujan yang mendadak turun,
setelah bertahun-tahun kemarau melanda tanah suci itu. Berita tentang telah
dekatnya kelahiran seorang calon nabi akhir zaman, rupanya telah sampai ke
telinga para pendeta Yahudi dan Nasrani, juga para penyihir dan dukun. Tak mau kecolongan,
mereka minta bantuan jin untuk mencuri dengar kabar dari langit. Namun, sejak
kehamilan Aminah, segenap pintu langit telah dijaga ketat oleh para malaikat bersenjatakan
panah berapi. Dalam Maulid-nya, Habib Umar bin Hafidz menambahkan, “Dan ketika
Aminah mengandung Nabi, ia tidak pernah merasa sakit sebagaimana lazimnya
wanita yang tengah hamil.” Sementara Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i memilih penggambaran
yang gempita dan agung, dengan sajak-sajak yang berakhiran huruf ra berharakat
fathah.
Fahtazzal ‘arsyu tharaban was-tibsyâra
Waz-dâdal kursiyyu haibatan wa waqâra
Wam-tala-atis samâwâtu anwâra
wa dhaj-jatil mala-ikatu tahlîlan wa tanjîdan
was-tighfâra
(Maka Arsy pun berguncang penuh suka cita dan riang
gembira.
(Sementara) Kursi Allah bertambah wibawa dan tenang.
Langit dipenuhi berjuta cahaya.
Dan bergemuruh suara malaikat membaca tahlil, tamjid (pengagungan
Allah), dan istighfar.
Detik-detik kelahiran Nabi dilukiskan sebagai peristiwa luar
biasa yang sarat kemukjizatan. Para penyusun Maulid pun berlomba
mengabadikannya dengan rangkaian kalimat indah yang
tak terhingga nilainya, misalnya saja untaian puisi di dalam
Maulid Diba’ seperti berikut:
Wa lam tazal ummuhû tarâ anwâ’an min fakhrihî wa
fadhlihî, ilâ nihâyati tamâmi hamlih Falammâsy-tadda bihâth-thalqu bi-idzni
rabbil khalqi, wadha’atil habîba shallallâhu ‘alaihi wa sallama sâjidan
syâkiran hâmidan ka-annahul badru fî tamâmih
(Dan sang ibunda tiada henti melihat bermacam tanda tanda
kemegahan dan Keistimewaan keistimewaan sang janin, hingga sempurnalah masa
kandungannya. Maka ketika sang bunda telah merasa kesakitan, dengan izin Tuhan,
Sang Pencipta makhluk, lahirlah kekasih Allah, Muhammad SAW, dalam keadaan
sujud, bersyukur, dan memuji, dengan wajah yang sempurna, laksana purnama).
Sementara Simthud Durar menggambarkannya dengan untaian
kalimat yang tak kurang indah…
“Maka dengan taufik Allah, hadirlah Sayyidah Maryam dan
Sayyidah Asiyah, yang diiringi bidadari-bidadari surga yang beroleh kemuliaan
agung yang dibagi-bagikan Allah atas mereka yang dikehendaki Dan tibalah saat
yang telah direncanakan Allah bagi kelahiran ini
Menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah terang benderang
menjulang tinggi dan terlahirlah insan nan terpuji Tunduk khusyu’ di hadapan
Allah Terang benderang menjulang tinggi…..”
Dalam Maulid-maulid itu juga diriwayatkan, Rasulullah SAW dilahirkan
dalam keadaan telah terkhitan, mata beliau indah bercelak, tali pusarnya telah
bersih terpotong – atas berkat
kuasa kodrat Ilahi. lalu Habib Ali juga menukil periwayatan Abdurahman
bin Auf, yang bersumber dari pengalaman oleh ibu kandungnya, Syaffa’, yang
berkisah, “Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut
dengan kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu
kudengar suara, ‘Semoga rahmat Allah atasmu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya
benderang di hadapannya, menerangi timur dan barat, sehingga aku dapat melihat
sebagian gedung-gedung Romawi.”
Cerita kehadiran Sayyidah Maryam (ibunda Nabi Isa AS) dan Sayyidah
Asiyah (istri Firaun yg juga ibu angkat Nabi Musa) saat kelahiran Rasulullah
SAW, dikisahkan pula dalam Maulid Barzanji. Dilukiskan pula berbagai peristiwa
ganjil yang menghiasi malam kelahiran beliau, seperti retaknya Istana Kerajaan
Persia, banjir bandang yang melanda Lembah Samawah di Gurun Sahara, padahal
sebelumnya belum pernah ditemukan air setetes pun; serta cahaya terang
benderang di atas kota Makkah dan sekitarnya. Lebih lanjut Al-Barzanji juga
bahkan menceritakan kondisi bayi Nabi Muhammad saw sesaat setelah kelahirannya,
“Nabi lahir ke dunia dalam keadaan meletakkan kedua tangannya ke bumi seraya
menengadahkan wajahnya ke arah langit yang tinggi sebagai penanda ketinggian
kedudukannya dan keluhuran budinya.”
Demikianlah berbagai ungkapan Saat saat terindah penuh
keindahan pada detik-detik kelahiran Rasulullah SAW dalam puisi Maulid karya
ulama saleh dari zaman ke zaman. Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan
keluhurannya, dengan segala keterbatasannya para ulama penyair itu berusaha
merangkumnya dalam untaian serangkaian puisi indah. Betapa beruntung
orang-orang yang mencintainya dengan cara apa pun, sebagaimana ungkapan Imam Bushairi
dalam Maulid Burdah-nya “Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang
kemudian dipilih menjadi kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan
kebaikannya terjaga dari kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi. Tinggalkanlah
apa yang dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya,
dan pujilah ia (Rasulullah) semaumu asal masih dalam batasan
hukum itu. Maka nisbatkanlah kemuliaan dan keagungan apa pun yang kau kehendaki
kepadanya.” Subhanallah wa Masha Allah!
Rasulullah SAW memang manusia biasa, namun beliau telah dipilih
oleh Allah SWT untuk dianugerahi berbagai macam keistimewaan, yang menjadikan
posisi beliau di antara umat manusia lainnya adalah bak permata diantara
bebatuan semata Allahummashalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali
sayyidina Muhammad.
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Indahnya Kelahiran Sang Nabi Dalam Untaian Puisi, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini:
Gabung dalam percakapan