Riwayat Syaikh Nawawi Al-Bantani (Banten – Indonesia)
Riwayat Syaikh Nawawi Al-Bantani (Banten – Indonesia)
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sangat kesohor.
Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Beliau bukan ulama
biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis kitab, meliputi
fiqih, tauhid, tasawwuf, tafsir, dan hadis. Jumlahnya tidak kurang dari 115
kitab.
Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai
pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah
beliau dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya
Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama.
Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
RIWAYAT
Asal Usul dan Kelahiran
Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin
‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat
kuat. Konon ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa
Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun
1230 H atau 1813 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan
Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui
jalur ini menurut bbrp referensi sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya
hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait
sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi,
ibunya bernama Zubaedah.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai
Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam,
Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.
Pendidikan Lokal
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan
mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun.
Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi
yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya
keberbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari
ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada
Kyai Yusuf, Purwakarta.
Belajar ke Mekah ke pertama kali
Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada
sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani
Bima, Yusuf Sumbulaweni, ‘Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi,
Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib
Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi.
Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di
Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk.
Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar
mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khâtib dan Syaikh Ahmad Zaini
Dahlan
Murid Murid Beliau selama di Mekah
Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama,
misalnya K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama),
K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil
Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta,
K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asy’ari saat mengajar
santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab
fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya
itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asy’ari hingga haru tak kuasa ditahannya
setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Perjuangan
Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten.
Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktek-praktek ketidakadilan,
kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat
itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora
jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap
penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau
dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai
pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Menyingkir ke Mekah, belajar kembali dan mengajar
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa
menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam
pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat
Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan
Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam
ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak
tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan hati untuk mukim
di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah
Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Beliau
mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama
makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka
jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai
dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Ditemui oleh Snouck Hourgranje
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan
patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa
di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat
pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda
berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui
beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab
dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di
perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan
tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan
tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka
cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis
Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama
yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi
kepentingan agama dan bangsa.
Gelar dan Penghargaan
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar.
Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai
Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya
sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan
pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang
luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz).
Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini
disebut Saudi Arabia. Sementara
paraUlama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning
Indonesia.
Karya-Karya
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir,
Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min Mâdhi
al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu
dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa
Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul
lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu.
Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
3. Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4. Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl
wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb
al-Mujîb
6. Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8. Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li
yaum al-Mi’âd
9. Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl
al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ
Qur΄an Majîd
12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham
al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi
‘Aqîdah al-‘Awwâm
15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid
al-Barzanjî
18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif
al-‘Anâm
19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b
al-Îmâniyyah
25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28. al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân
al-Jumu’ah wa almu’âdah
30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah
al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
32. al-Riyâdl al-Fauliyyah
33. Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb
al-Hukm
34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi
al-Tauhîd
35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad
al-Sayyid al-Adnâny
36. Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
37. al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish
al-Nabawiyyah
38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada
yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn
al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. Sementara
Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih
Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut
karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya
beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath
al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul.
Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah
al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan
Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya
beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu
Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren
memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan
Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail.
Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat
terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian
kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka
menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan
masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya
beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Wafat
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat
Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah
umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/
1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M.
Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan
dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma΄
binti Abû Bakar al-Siddîq.
Sumber :
https://www.facebook.com/notes/belajar-nahwu-shorof-tata-bahasa-arab-dan-bentuk-perubahan/riwayat-syaikh-nawawi-al-bantani-imam-masjidil-haram/425751802516Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Riwayat Syaikh Nawawi Al-Bantani (Banten – Indonesia), jangan lupa ikuti website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat.
Gabung dalam percakapan